Bisnis.com, JAKARTA—Warga negara Indonesia yang mengalami cedera atau kerugian lain sebagainya dari penerbangan internasional bakal mendapatkan kompensasi maksimal senilai Rp2 miliar dari maskapai bersangkutan.
Nilai kompensasi terbaru itu sejalan dengan telah diratifikasinya Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional atau Konvensi Montreal 1999 oleh Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Saat ini, ratifikasi Konvensi Montreal 1999 telah diadopsi ke dalam Peraturan Presiden No. 95/2016 tentang Pengesahan Konvensi Unifikasi Aturan Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional yang berlaku mulai 23 November 2016.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan Indonesia berkomitmen untuk melakukan ratifikasi dan menerapkan aturan penerbangan yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)
“Ratifikasi ini sekaligus juga memastikan bahwa kita siap menerapkan standar-standar baku internasional dalam sistem penerbangan kita, agar keselamatan, keamanan dan kenyamanan penerbangan dapat meningkat,” katanya, Kamis (16/02).
Secara umum, ratifikasi Konvensi Montreal 1999 bertujuan untuk memberlakukan ketentuan internasional tersebut sebagai payung hukum nasional dalam pengaturan tanggung jawab pengangkut yang dilakukan oleh angkutan udara internasional.
Selain itu, ratifikasi juga memberikan jaminan kepastian hukum bagi penumpang, barang, bagasi dan kargo pada angkutan udara internasional, termasuk memberikan perlindungan bagi maskapai penerbangan, khususnya menyangkut besaran kompensasi.
Rincian nilai kompensasi terbaru dari pengangkut, yakni bagi penumpang yang meninggal atau menderita akibat kecelakaan pesawat udara, nilai kompensasi maksimal 113.100 Special Drawing Rights (SDR) atau sekitar Rp 2,03 miliar.
Penumpang yang ingin mengajukan klaim melebihi batas 113.100 SDR, berlaku asas tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Artinya, maskapai harus membuktikan tidak ada kesalahan yang disengaja di pihaknya.
Kemudian, dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan pesawat udara, maskapai wajib memberikan kompensasi maksimal kepada para penumpang mencapai 4.694 SDR atau sekitar Rp84,2 juta.
Lalu, untuk kehilangan, kerusakan, ataupun musnahnya barang bawaan dan bagasi, tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai dengan maksimum 1.131 SDR atau sekitar Rp20,3 juta.
Sementara itu, untuk pengiriman kargo, pada kerusakan, kehilangan, keterlambatan, atau musnahnya kargo, pengirim berhak atas ganti rugi maksimum sebesar 19 SDR atau sekitar Rp341.000 per kg
Sementara itu, Kepala Bagian Kerjasama dan Humas Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Agoes Subagio menuturkan Konvensi Montreal 1999 tersebut mengatur hukum tanggung jawab pengangkut yang berlaku secara internasional.
Tanggung jawab yang dimaksud, yakni pengangkutan penumpang, bagasi dan kargo yang diangkut dengan menggunakan penerbangan internasional, apabila terjadi cidera, kerugian atau kerusakan pada saat pengangkutan tersebut.
“Konvensi Montreal 1999 ini juga memberikan kemudahan bagi para penumpang angkutan udara internasional yang telah dirugikan, untuk melakukan gugatan di tempat mereka tinggal atau berdomisili,” katanya.
Dengan diratifikasinya Konvensi Montreal 1999 tersebut, posisi Indonesia kini telah sejajar dengan 122 negara-negara anggota ICAO lainnya yang juga telah lebih dulu meratifikasi Konvensi Montreal 1999.
Dengan demikian, daya tawar Indonesia dalam forum-forum internasional juga semakin meningkat. Agoes optimistis kondisi tersebut akan mendorong jumlah frekuensi penerbangan internasional Indonesia.