JAKARTA— Sejumlah kalangan menilai bahwa pemerintah perlu mengkaji pola bantuan rumah swadaya yang sudah dijalankan selama ini sebab hanya berorientasi proyek, bukan pada pola peningkatan kemampuan keswadayaan.
Ketua The Housing and Urband Development Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan, program sejuta rumah yang menyasar pembangunan rumah secara swadaya perlu didukung oleh sistem kelembagaan dan tata kelola penyelenggaraaan perumahan swadaya berbasis komunitas.
Menurutnya, selama ini bantuan penyelenggaraan perumahan swadaya hanya menyasar dan mengukur pembanguan unit rumah secara fisik. Sementara itu, penguatan keswadayaan atau peningkatan kemampuan menyediakan rumah secara mandiri melalui pemberdayaan masyarakat justru tidak diperhatikan.
“Seharusnya dua-duanya dilakukan pemerintah. Saat ini baru melakukan bantuan stimulan rumah swadaya melalui program bedah rumah, tetapi belum meningkatkan keswadayaan,” katanya kepada Bisnis, pekan lalu.
Pihaknya mendorong agar pemerintah menghidupkan lagi kelembagaan yang berfungsi membina keswadayaan dengan tata kelola yang lebih baik dari yang pernah ada dalam sejarah.
Saat ini, kelembagaan rumah swadaya hanya setingkat deputi pada Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan hanya berorientasi pada proyek melalui penyaluran dana bantuan.
Padahal, pada era 1990-an pernah ada program Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK). Program tersebut menempatkan masyarakat sebagai subjek pelaku pembangunan, bukan hanya objek penerima bantuan.
Program tersebut tidak saja bertumpu pada penyaluran dana, tetapi pemberdayaan kelompok masyarakat yang dibantu oleh instansi pemerintah, badan usaha swasta, lembaga penggerak masyarakat, asosiasi profesi, lembaga pengabdian masyarakat, perguruan tinggi, dan konsultasi pembangunan.
Ketika dimintai tanggapannya, Direktur Perencanaan Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Hardi Simamora mengatakan, fungsi P2BPK pada prinsipnya masih dihidupi dalam program pemerintah.
Kini, setelah Kementerian Pekerjaan Umum bergabung dengan Kementerian Perumahan Rakyat, fungsi tersebut dipegang Ditjen Cipta Karya. Mereka yang menyusun model penataan kawasan serta pengembangan komunitas.
Sementara itu, Ditjen Penyediaan bertugas mengeksekusi perbaikannya seturut rekomendasi Ditjen Cipta Karya sehingga penanganannya menjadi terpadu.
Hardi menilai, itulah cara negara hadir untuk merumahkan masyarakat. Dirinya tidak sependapat bila dikatakan model bantuan swadaya adalah bentuk kurangnya kehadiran negara dalam peran penyediaan rumah rakyat.
Menurutnya, banyak terjadi setelah pemerintah menawarkan program stimulan rumah swadaya, masyarakat justru tergerak untuk mengucurkan dana lebih banyak untuk memperbaiki atau membangun rumah mereka, bahkan kerabat pun ikut membantu karena melihat komitmen bantuan pemerintah.
Dia menjelaskan, dana pemerintah hanya stimulan dan program tersebut merupakan jalan keluar yang cukup baik untuk mengatasi masalah mendesak akibat tingginya rumah tidak layak huni yang mencapai 3,40 juta unit.
Zulfi menegaskan, pemerintah perlu menghidupkan lagi pola pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat keswadayaan, tidak saja membantu melalui pendanaan.
Dalam program tersebut, dikenal skema Kredit Triguna oleh Bank BTN, yang mencakup kredit penyediaan tanah, kredit konstruksi, dan kredit peningkatan penghasilan yang ditujukan untuk membantu usaha ekonomi kelompok agar berkemampuan lebih baik dan bisa mengembalikan kredit. Jadi, tidak hanya mengandalkan APBN.
Selain itu, berkembang pula konsep Tribina, yakni bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan untuk meningkatkan keswadayaan. Konsep itu lalu berubah menjadi Tridaya di era reformasi.
“Sayangnya, pada era Presiden Jokowi saat ini Triguna dan Tridaya ini hilang lenyap, tidak pernah disinggung lagi. Padahal, Tridaya itu intinya pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR itu sendiri,” kata Zulfi yang pernah menjabat sebagai Deputi Kementerian Perumahan Rakyat Bidang Perumahan Formal.
Pemerintah sendiri mulai serius menindaklanjuti pengembangan program serupa. Pada 20 Desember 2016, Ditjen Penyediaan Perumahan dan Ditjen Pembiayaan Perumahan pada Kementerian PUPR telah menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus pada kelembagaan dan tata kelola penyelenggaraan rumah swadaya.
Sepanjang tahun lalu, program rumah swadaya masih berfokus pada penyaluran dana. Dari program tersebut, pemerintah mengklaim telah membantu penyediaan rumah swadaya sebanyak 97.888 unit. Jumlah tersebut terdiri atas 1.007 unit pembangunan baru dan 96.881 unit peningkatan kualitas.
CITA-CITA IDEAL
Sementara itu, pakar di bidang perumahan dari Universitas Gadjah Mada Budi Prayitno menilai, cita-cita ideal perumahan nasional seharusnya adalah seminimal mungkin pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dilakukan secara swadaya.
Menurutnya, pembangunan secara swadaya justru menunjukkan ketidakhadiran negara untuk bertanggung jawab menyediakan rumah bagi rakyatnya.
“Dalam strategi merumahkan rakyat, supaya negara itu hadir, swadaya jangan terlalu diurus. Kalau kita terlalu memperkuat swadaya, negara tidak akan hadir. Kalau rakyat bisa menjamin sendiri kebutuhan rumahnya, artinya percuma ada negara atau negara tidak usah hadir saja,” katanya.
Budi menambahkan, kenyataan bahwa ada sekitar 87% rumah yang ada di Indonesia saat ini dibangun secara swadaya menunjukkan lemahnya peran serta negara dalam penyediaan rumah bagi masyarakat.
Masyarakat memilih membangun sendiri rumah mereka karena tidak ada solusi penyediaan rumah dari pemerintah.
Oleh karena itu, tuturnya, pemerintah perlu lebih berfokus pada strategi penataan ruang dan pembangunan rumah bagi masyarakat, bukannya terus menyalurkan dana hibah rumah swadaya. Agar lebih efektif, pembangunan fisik sebaiknya dipercayakan pada Perumnas selaku BUMN perumahan, sedangkan pemerintah fokus pada strategi kebijakan dan regulasi.