Bisnis.com, JAKARTA - Rencana untuk optimalisasi pengunaan bahan bakar gas untuk kapal perintis milik negara masih terkendala minimnya fasilitas dan mahalnya instalasi sistem.
Agustinus Maun, Kepala Seksi Rancang Bangun, Stabilitas dan Garis Muat Kapal Penumpang dan Kapal Ikan Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Agustinus Maun mengungkapkan pihaknya memang tengah mencari cara mengurangi emisi karbon dari kapal.
Dia menambahkan Ditjen Perkapalan dan Kepelautan telah melakukan kajian untuk rencana ini.
"Di kapal perintis memang akan kita coba, namun setelah dianalisa pemasangan pada kapal lama biayanya lebih tinggi daripada bangun baru," ujarnya kepada Bisnis setelah acara sosialisasi sidang IMO, Rabu (11/1/2017).
Instalasi mahal karena tangki yang diperlukan sangat besar, kemudian tangki harus dimampatkan. Selain itu, dia menuturkan tangki bahan bakar gas juga harus memiliki sistem keamanan yang tinggi.
Selain itu, dia menambahkan IMO belum menetapkan standar penggunaan bahan bakar gas untuk kapal, terutama dalam hal Low-flashpoint Fuels (IGF Code).
Dalam IGF Code, Maritime Safety Committee (MSC) IMO mengatur bahan bakar kapal harus memiliki flashpoint yang rendah. Sementara itu, SOLAS menetapkan flashpoint sampai 55.
"Padahal bahan bakar gas itu di bawah itu. Jadi mungkin SOLAS-nya yang harus diamandemen dulu," katanya.
Dia menegaskan Kemenhub menunggu keputusan ini dan tengah menyiapkan pemanfaatan bahan bakar gas untuk pelayaran. Masalah penting lainnya terkait dengan ketersediaan infrastruktur. Agustinus mengungkapkan ketidaktersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas untuk kapal di wilayah Indonesia Timur.
"Salah satu yang bisa kita antisipasi itu menggunakan mobile bunkering," ujarnya. Namun, pemerintah harus membuat aturan untuk kapal jenis mobile bunker tersebut.
Kendati sulit, dia menegaskan Indonesia akan berusaha merintis kebijakan pengunaan bahan bakar gas untuk kapal negara.