Bisnis.com, JAKARTA - Pengadaan jumlah pesawat baling-baling oleh maskapai niaga berjadwal, untuk penerbangan domestik, yang cukup tinggi pada tahun ini dinilai bakal menggerus pangsa pasar maskapai penerbangan regional.
Ketua Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto mengatakan penambahan pesawat baling-baling (propeller) menunjukkan adanya permintaan jasa angkutan udara yang cukup tinggi di pelosok daerah.
“Meski begitu, penambahan pesawat propeller oleh maskapai dengan lingkup operasi yang luas itu berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat, terutama terhadap maskapai regional atau komuter,” katanya di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Selain itu, lanjut Bayu, maskapai dengan ukuran armada (fleet size) yang besar juga mudah melakukan ekspansi secara masif karena mampu mendatangkan pesawat baling-baling dengan jumlah armada yang lebih besar.
Seperti diketahui, maskapai dengan pangsa pasar penumpang domestik tertinggi seperti Lion Air Group, Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group berencana mendatangkan sejumlah pesawat baling-baling pada tahun ini.
Lion Air Group misalnya, akan mendatangkan pesawat baling-baling untuk meningkatkan pangsa pasar penumpang domestik, baik di wilayah Indonesia dan Malaysia. Sayangnya, dia tidak merinci jumlah pesawat yang akan didatangkannya itu.
Sementara itu, Garuda Indonesia Group berencana mendatangkan pesawat baling-baling tipe ATR sebanyak tiga unit pada tahun ini. Namun demikian, rencana tersebut berpeluang besar berubah, seiring dengan instruksi dari Kementerian BUMN.
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Garuda Indonesia Group untuk lebih ekspansif pada tahun ini guna menangkap potensi pasar yang ada, terutama yang berada di pelosok-pelosok daerah dan luar negeri.
Untuk menggarap pangsa pasar di pelosok daerah, maskapai membutuhkan pesawat baling-baling. Pasalnya, sebagian besar bandara di Indonesia memiliki panjang landas pacu di bawah 2.000 meter.
Hal yang sama juga dilakukan Sriwijaya Air Group. Kelompok bisnis besutan Chandra Lie itu telah menandatangani kesepakatan dengan ATR untuk mendatangkan 12 pesawat ATR 72-600 secara bertahap, mulai tahun ini.
“Melihat kondisi itu, maka Kemenhub selaku regulator harus mengeluarkan kebijakan agar persaingan antara maskapai besar dengan maskapai kecil itu tetap sehat, dan tidak menimbulkan suatu monopoli ke depannya,” tutur Bayu.
Dia juga mengusulkan agar Kemenhub dapat mendorong adanya aliansi (kerja sama operasi) antara maskapai domestik dengan maskapai regional. Menurutnya, skema aliansi tersebut terbukti berhasil di sejumlah negara, seperti Amerika dan Eropa.
Dengan adanya aliansi itu, maskapai regional diyakini dapat tetap bertahan, dan berkontribusi dalam memenuhi permintaan jasa angkutan udara di Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya.
Sekadar informasi, skema aliansi maskapai di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan, yakni antara Sriwijaya Air dengan Transnusa Aviation. Dari aliansi tersebut, kedua maskapai mengklaim tingkat keterisian kursi pesawat menjadi lebih optimal.