Bisnis.com, JAKARTA - Sudah sesuai aturannya, sebagian penerimaan pajak yang masuk dalam kantong pemerintah pusat akan dibagihasilkan ke pemerintah daerah. Lantas, bagaimana dengan penerimaan yang masuk melalui kebijakan amnesti pajak?
Sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, kewajiban perpajakan yang diampuni terdiri atas kewajiban pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Selanjutnya, dalam Pasal 31C UU No. 36/2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan disebutkan penerimaan negara dari PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.
PPh orang pribadi dalam negeri (WPOPDN), yang ada di pos PPh pasal 25 dan pasal 29, serta PPh pasal 21, masih dalam beleid tersebut, dibagi dengan imbangan 80% untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak (WP) terdaftar.
Penegasan juga termuat dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 11 disebutkan, dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan ha katas tanah dan bangunan (BPHTB), dan PPh pasal 25 dan pasal 29 WPOPDN dan PPh pasal 21.
Dalam Pasal 13 UU tersebut kembali didetailkan, dana bagi hasil PPh sebesar 20% untuk daerah itu dibagi antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Adapun, pembagiannnya mencakup 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.
Sekilas, jika melihat runutan aturan tersebut ada peluang bagi daerah untuk mendapatkan dana bagi hasil dari kebijakan amnesti pajak karena ada masukan dari sisi PPh. Apalagi, setiap WP, baik OP maupun badan berhak memanfaatkan fasilitas tersebut.
Nyatanya, boleh jadi pemerintah daerah hanya bisa gigit jari dengan banyaknya penerimaan negara yang didapat dari program tersebut. Mengapa demikian? Secara aturannya, uang tebusan, yang otomastis menjadi penerimaan negara, tidak dibagihasilkan ke daerah.
Boediarso Teguh Widodo, Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu menjelaskan sesuai penjelasan umum UU No. 11/2016, uang tebusan memang diperlakukan sebagai penerimaan PPh dalam APBN.
Namun demikian, dalam aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, uang tebusan diadministrasikan sebagai PPh nonmigas lainnya.
“Maka menurut hemat kami, penerimaan uang tebusan dari tax amnesty tidak termasuk penerimaan pajak yg dibagihasilkan. UU No. 11/2016 juga tidak mengatur bagi hasil atas penerimaan uang tebusan,” jelasnya.
Menilik dashboard amnesti pajak pada Minggu (18/12/2016), pukul 12.00 WIB, uang tebusan amnesti pajak berdasarkan surat setoran pajak (SSP) yang diterima mencapai Rp97 triliun. Awalnya, pemerintah menargetkan uang tebusan sekitar Rp165 triliun.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak (DJP) pun menegaskan hal yang sama karena tidak ada cantolan hukumnya untuk membagihasilkan uang tebusan ke daerah.
“Dalam UU APBN 2016 juga tidak ditetapkan adanya uang tebusan sebagai pajak yang dapat dibagihasilkan,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya tetap meminta agar pemerintah daerah tetap berperan serta menyukseskan amnesti pajak. Hal ini dikarenakan akan ada penambahan basis pajak baru sehingga pada gilirannya juga berimbas positif ke daerah di masa mendatang.
Insentif
Hestu mengakui peran pemerintah daerah penting, terutama dalam upaya penarikan harta yang selama ini diparkitr di luar negeri untuk bisa masuk ke Tanah Air. Peran pemda sangat penting dari sisi wadah investasi.
Dia memberi contoh, saat ada penurunan tarif PPh final atas penghasilan dalam pengalihan real estat dalam kontrak investasi kolektif (KIK) dana investasi real estat (DIRE) dari 5% menjadi 0,5%, pemerintah daerah nyatanya masih enggan menurunkan batasan tarif BPHTB maksimal 1%.
Dimintai tanggapan, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan memang secara runutan aturannya, uang tebusan memang tidak dibagihasilkan. Namun, pihaknya meminta pemerintah merancang terobosan agar daerah aktif dan proaktif terlibat.
Amnesti pajak, lanjut dia, sudah seharusnya diperlakukan sebagai program nasional. Untuk mencapai kesuksesan kebijakan ini, dibutuhkan sinergi dan koordinasi, baik horizontal maupun vertikal, pusat dan daerah, lintas kementerian/ lembaga, termasuk dengan sektor swasta.
Peran pemerintah daerah signifikan karena merekalah yang memiliki kewenangan pengelolaan daerah, termasuk warga, usaha kecil menengah (UKM), teritori, dan lainnya yang vital dan strategis. Oleh karena itu, perlu dirancang skema insentif yang menarik sehingga kebijakan amnesti pajak optimal.
“Insentif bisa melalui skema bagi hasil penerimaan pajak, di mana pemerintah daerah yang malas tidak mendapat reward, dan yang proaktif akan mendapat alokasi lebih besar sebagai reward,” tuturnya.
Jangan sampai gembar-gembor kebijakan nasional, tanpa dukungan daerah. Lebih bahaya lagi jika pemerintah daerah justru melakukan langkah-langkah sendiri, yang sejatinya tidak produktif, untuk memperbesar porsi dana bagi hasil.