Pengembangan Kawasan, Menanti Wajah Baru Teluk Jakarta

Jakarta Utara akan tenggelam pada 2030. Tak main-main, peringatan ini langsung datang dari Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas pada 27 April 2016 lalu.

Jakarta Utara akan tenggelam pada 2030. Tak main-main, peringatan ini langsung datang dari Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas pada 27 April 2016 lalu. Sudah pasti, Presiden tak sembarangan saat melontarkan pernyataan itu.

Data yang dipegang Presiden memperlihatkan tanah di Jakarta Utara turun rata-rata 7,5-12 sentimeter per tahun. Angka tersebut dinilai sudah berada pada taraf mengkhawatirkan. Terlebih lagi, jika ini harus menimpa Jakarta yang merupakan ibukota negara sekaligus kawasan strategis nasional.

Kementerian Pekerjaan Umum bahkan punya perhitungan yang lebih menyeramkan. Mereka memprediksi seluruh Jakarta akan tenggelam dalam tempo 34 tahun ke depan, atau tepat lima tahun setelah satu abad Indonesia merdeka pada 2045. Ini lantaran setiap tahun muka tanah di Jakarta turun antara 1-26 sentimeter.

Permukaan tanah yang berada di bawah laut akan menjadi sasaran empuk banjir rob dan intrusi air laut. Di saat yang sama, kondisi ini akan membuat aliran air sungai terjebak dan tidak bisa masuk ke Teluk Jakarta.

(Lihat Infografis 1: POTENSI KERUGIAN DI JAKARTA AKIBAT BANJIR ROB)

Pengembangan Kawasan, Menanti Wajah Baru Teluk Jakarta

Tak cuma ancaman tenggelam, Jakarta juga menghadapi segudang persoalan lain. Kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang buruk, kemacetan, pencemaran lingkungan, hingga kesehatan masyarakat adalah sederet persoalan yang hingga kini masih menghantui.

Berbagai data dan survei sejumlah lembaga menunjukkan fakta yang kurang mengenakkan. Soal kemiskinan, misalnya, data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah masyarakat miskin di Jakarta sampai Maret 2016 sebesar 3,75% dari jumlah penduduk, naik dibandingkan September 2015 sebesar 3,61%.

Kendati turun, jumlah pengangguran di Jakarta juga masih terbilang tinggi. Sampai Februari 2016, pengangguran di Jakarta mencapai 5,77% dari angkatan kerja, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang sebesar 5,5%.

Kesehatan lingkungan pun jadi ancaman serius. Tingkat kepadatan penduduk Jakarta yang tinggi akibat keterbatasan lahan ditambah pencemaran lingkungan terbukti melahirkan berbagai gangguan kesehatan. Saat ini, tingkat kepadatan penduduk Jakarta mencapai 14.476 jiwa per kilometer persegi. Dengan Jabodetabek sebagai urbannya, Jakarta tercatat sebagai kota megapolitan terbesar dan terpadat kedua setelah Tokyo versi Demographia World Urban Area.

Ibarat benang kusut, berbagai persoalan Jakarta harus diurai dengan cara-cara progresif dan out of the box. Sejumlah pakar menyepakati bahwa pengembangan kawasan baru di Teluk Jakarta adalah salah satu solusi terintegrasi menjawab masalah itu,menyusul wilayah lain yang tak memungkinkan lagi. Pengembangan kawasan baru di Teluk Jakarta akan mampu memberikan efek pengganda (multiplier effect) untuk mengurai masalah ibukota.

Asosiasi Pengusaha Indonesia mencatat selama proses reklamasi berlangsung akan terserap sedikitnya 20.000 tenaga kerja baru. Proyek ini juga melibatkan 167 perusahaan yang masing-masing memiliki jumlah pekerja berbeda. Jika terbangun, kawasan ini juga akan menjadi pusat ekonomi, sosial, pendidikan, dan infrastruktur baru yang dapat dimanfaatkan publik.

Belum lagi potensi pendapatan daerah Jakarta. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jakarta 2016-2025 menyebutkan potensi pendapatan pajak dari pengembangan Kawasan Utara Jakarta selama 10 tahun mencapai Rp 158 triliun. Dana itu akan digunakan untuk membiayai penyelesaian berbagai permasalahan di Jakarta seperti masalah sosial, permukiman, penanggulangan banjir, dan transportasi.

Di bidang sosial, dana itu digunakan membiayai pendidikan (operasional, buku, dan peningkatan kompetensi guru) serta kesehatan (membangun rumah sakit, puskesmas, fasilitas kesehatan, termasuk peningkatan jumlah dan kompetensi paramedis).Di bidang permukiman, akan dibangun rumah susun baik sewa maupun terpadu dengan pasar dan fasilitas kesehatan, termasuk rusunami dan apartemen di 39 titik senilai Rp 3,1 triliun.

Terkait pekerjaan umum, dana revitalisasi akan dipakai membangun jaringan air bersih, sistem pengolahan sampah, pelebaran jalan dan pembangunan jembatan, serta pengelolaan limbah. Ada pula pengadaan lahan untuk taman, makam, hutan kota, dan pertanian.

Soal penanggulangan banjir, Jakarta akan mengembangkan saluran drainase, tanggul laut, stasiun pompa dan polder, serta waduk. Dana tersebut juga akan dipakai membiayai Jakarta Urgent Flood Mitigation Project senilai Rp 1,65 triliun yang bertujuan merevitalisasi 14 situ, 44 waduk, 1.086 saluran air, serta 13 sungai utama.

Menyangkut transportasi, pemerintah Jakarta akan membangun 15 koridor bus rapid transit (BRT) dan light rapid transit (LRT). Pembangunan LRT membutuhkan dana sedikitnya Rp 35 triliun dan mass rapid transit (MRT) Tahap I saja perlu Rp 20 triliun. Di saat bersamaan, pemerintah akan membangun flyover dan underpass.

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Prof. Emil Salim, menyatakan kenaikan harga dan keterbatasan lahan di Jakarta menjadi salah satu persoalan jika pengembangan kawasan dilakukan di darat. Untuk itulah, proses reklamasi menjadi salah satu pilihan yang paling realistis.

Dalam Diskusi Publik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 4 Oktober lalu, pakar ekonomi lingkungan yang menjabat berbagai posisi menteri di era Presiden Soeharto ini menegaskan tidak ada yang keliru dengan kebijakan reklamasi. Reklamasi bahkan dinilai banyak membawa manfaat.  “Yang penting orientasi kepentingan publik yang utama,” kata Emil.

Emil menjelaskan harga lahan di Jakarta terus naik dari tahun ke tahun dan reklamasi merupakan salah satu bentuk investasi untuk mengantisipasinya. Ia memprediksi pada tahun 2045, Indonesia akan terkena imbas dari stagnasi pelabuhan dan bandara di Singapura yang sudah kelebihan beban. Walhasil, pengembangan pelabuhan dan bandara, salah satunya melalui reklamasi, di Jakarta adalah sebuah keniscayaan.

Sejatinya, beberapa dari 17 pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta sudah efektif dipergunakan untuk berbagai fasilitas publik. Sebut saja, Pulau N yang kini telah menjelma sebagai New Priok Container Terminal (NPCT) I.  

Sejak 18 Agustus 2016, New Priok I resmi beroperasi. Hasil reklamasi seluas 32 hektare yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II ini memiliki kapasitas 1,5 juta TEUs per tahun dengan total panjang dermaga 850 meter pada akhir 2016.

Direktur Namarin Istitute, Siswanto Rusdi menyatakan keberadaan New Priok diharapkan akan mampu memangkas biaya logistik Indonesia yang kini menembus 25% dari Produk Domestik Bruto, tertinggi di dunia. Tingginya biaya logistik selama ini membuat Indonesia sulit menyaingi negara lain.

Ada pula Pulau K yang dikelola PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Perusahaan akan mengembangkan wilayah tersebut sebagai daerah rekreasi pantai di Jakarta, yang di dalamnya juga terdapat area publik. Kini perusahaan baru menyelesaikan tahap penanggulan. Selain Pulau K, Ancol telah melakukan pengembangan kawasan Teluk Jakarta, melalui reklamasi, sejak lama.

(Lihat Infografis 2: RAPOR REKLAMASI DI JAKARTA – ANCOL dan NEW PRIOK)

Pengembangan Kawasan, Menanti Wajah Baru Teluk Jakarta

Babak Baru

Rencana reklamasi sesungguhnya bukanlah barang baru. Perencanaan reklamasi di kawasan pesisir utara Jakarta telah lahir sejak era Presiden Soeharto, melalui Keputusan Presiden No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8/1995 tentang Tata Ruang. Di tahun 2013, reklamasi juga kembali dibahas, namun belum sempat diambil keputusan seiring pergantian rezim pemerintahan pada 2014. “Makanya saya heran kenapa ramai-ramai seperti ini,” kata Emil.

Pernyataan Emil ini mengacu kepada berbagai penolakan oleh sejumlah kalangan yang kontra dalam beberapa bulan terakhir. Penolakan muncul dari kalangan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan, hingga organisasi yang mengklaim mewakili nelayan tradisional.

Alasan mereka yang kontra umumnya disandarkan kepada kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin muncul dan kecemasan nelayan tradisional yang kian sulit mencari ikan. Ada pula yang menyoal perizinan dan kajian proyek yang dinilai masih belum beres, sehingga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Belakangan, isu reklamasi juga menjadi salah satu komoditas politik terpanas menjelang Pilkada gubernur Jakarta, Februari 2017.

Salah satu penolakan di antaranya datang dari mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf yang menilai reklamasi di Jakarta lebih bernuansa bisnis dari pada bertujuan menata kawasan pantai utara. “Saya menyesalkan rencana ini [reklamasi],” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (25/9). Sejumlah pakar yang hadir dalam Diskusi Publik di KPK juga mengkhawatirkan potensi munculnya berbagai persoalan lingkungan, sosial, dan ekonomi akibat reklamasi.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 18 April 2016 menghentikan sementara proyek reklamasi Teluk Jakarta. Lima bulan berselang, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman yang baru berketetapan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Sesuai arahan Presiden, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan melakukan kajian terhadap proyek reklamasi. Kajian tersebut ditargetkan akan selesai akhir Oktober 2016.   

Irmanputra Sidin, Advokat dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, menilai pemerintah tidak bisa serta merta menghentikan reklamasi Teluk Jakarta, karena ada hak-hak pengembang yang juga harus dihormati oleh negara. “Mereka sudah melakukan semua tahapan, sudah dipenuhi, pemerintah harus hormati. Sudah benar Pak Luhut melanjutkan reklamasi,” tuturnya.

Firdaus Ali, Pakar Teknologi Lingkungan, berpendapat reklamasi di Teluk Jakarta tidak akan memberikan dampak negatif. Kekeruhan air laut hanya akan terjadi sementara saat proses pengurukan. Reklamasi bahkan akan memperbaiki ekosistem Teluk Jakarta yang selama ini sudah rusak akibat pencemaran limbah rumah tangga dan industri dari darat.

Pelaksana Tugas Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Distribusi Jakarta Raya Dini Sulistyawati menambahkan proyek reklamasi tidak mengganggu pelayanan dan pasokan listrik kepada pelanggan.“Sejauh ini proyek tersebut [reklamasi] tidak mengganggu pelayanan dan pasokan listrik di DKI Jakarta,” katanya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan agar reklamasi harus sesuai arahan Presiden yakni tidak melanggar aturan, tidak merusak lingkungan, dan tidak merugikan nelayan. Selain Teluk Jakarta, di Indonesia saat ini tercatat ada 20 rencana reklamasi lain.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebutkan, berdasarkan undang-undang,reklamasi diperbolehkan sepanjang bertujuan meningkatkan manfaat ruang sosial ekonomi, mitigasi bencana, serta meningkatkan daya dukung dan daya hidup lingkungan kedepan. Namun, untuk meminimalkan dampak jangka pendek, proyek reklamasi harus terintegrasi dan komprehensif.

Untuk itulah, Bappenas sedang mengkaji sinergi antara reklamasi 17 pulau dengan proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau dikenal sebagai tanggul laut raksasa/giant sea wall. Kedua proyek ini diharapkan akan saling melengkapi satu sama lain dan menjadi solusi terintegrasi atas berbagai persoalan Jakarta. Proyek NCICD Tahap A, misalnya, akan mampu menangani masalah banjir rob dan penurunan tanah yang dikhawatirkan menenggelamkan Jakarta Utara pada 2030. 

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Budi Situmorang, mengklaim sejak awal mereka menginginkan penataan Teluk Jakarta terintegrasi NCICD. Menurut dia, masih banyak hal detil yang perlu diselesaikan secara cermat. “Saat ini kami sedang me-review tata ruang Jabodetabekpunjur, termasuk ruang laut di Teluk Jakarta,” kata Budi kepada Bisnis, Selasa (27/9).

Hasil kajian Kementerian ATR akan segera diserahkan kepada Bappenas untuk kemudian dipaparkan secara resmi pada akhir Oktober 2016. Terhadap beberapa pulau yang sudah ada, rencananya akan dilakukan rekayasa teknis dan design ulang,karena tidak mungkin membongkar pulau yang telah berdiri.

Jarak pulau buatan ini juga akan dianalisa ulang sesuai amanat Perpres yakni 200 meter hingga 300 meter dari surut terendah. Jarak ini dinilai aman sebagai akses untuk nelayan. “Nanti sistemnya buka tutup. Kami ingin semua pihak nyaman baik masyarakat ataupun swasta,” kata Budi. Untuk detilnya, publik memang masih harus sabar menanti hasil kajian Bappenas ihwal wajah baru Teluk Jakarta yang bakal dirilis dalam hitungan hari.

Kepastian Nelayan

Berdasarkan pantauan Bisnis, beberapa hasil reklamasi yang sudah mulai utuh terlihat di luar New Priok I adalah Pulau G dan D.Pulau G yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk dan berjarak 15 menit dari bibir pantai Muara Angke ini belum ada kegiatan berarti. Sementara di Pulau D yang dikembangkan PT Kapuk Naga Indah seluas 312 hektare telah berdiri beberapa bangunan.

Menurut Hesti D. Nawangsidi, Pakar Tata Kota Institut Teknologi Bandung, pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta sudah mempertimbangkan banyak aspek dan melalui kajian menyeluruh, termasuk aspek lingkungan dan nelayan. Namun, dalam pelaksanaannya,reklamasi ini harus tetap dilakukan dengan perencanaan dan pengawasan ketat. Mitigasi terhadap dampak negatif proyek harus dilakukan, agar segera disiapkan langkah antisipasinya.

Selain itu, pengaturan teknis terkait kegiatan lain di pantai utara Jakarta yang menjadi objek vital juga harus segera dipertegas. “Pengembangan kawasan utara Jakarta harus memastikan bahwa masyarakat akan mendapatkan keuntungan terbesar. Dan jika dilakukan dengan baik, pembangunan kawasan baru ini akan memberikan banyak manfaat bagi Jakarta dan masyarakatnya,” ujarnya.

Di temui terpisah, Dodo Winarta (38) dan Casyani (40), dua nelayan Blok Empang, Muara Karangmenuturkan sejauh ini belum ada pembicaraan serius mengenai rumah susun dan bantuan kapal untuk nelayan. Keduanya adalah wacana program yang selama ini disiapkan pemerintah Provinsi Jakarta untuk menyelesaikan persoalan nelayan yang terkena dampak proyek reklamasi. Meski cemas, Dodo dan Casyani berharap pemerintah memperhatikan kelangsungan hidup para nelayan jika proyek reklamasi dilanjutkan.

Hal senada disampaikan Jaya. Namun, nelayan generasi ketiga di Muara Angke ini mencoba berpikir realistis jika reklamasi dilanjutkan. Bagi Jaya, yang penting dirinya dapat melanjutkan melaut, meski harus berlayar lebih jauh. Namun untuk itu, nelayan membutuhkan kapal yang lebih besar.

“Kapal [sebagai solusi bagi nelayan] katanya mau dikasih. Jangankan dikasih, disuruh beli [secara] kredit saja kami mau. Apalagi dikasih, pasti mau. Yang penting bukti [realisasi kapal],” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : MediaDigital
Editor : MediaDigital
Sumber : Marketing Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper