Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Pengolahan Tembakau Tolak Kenaikan PPN 10%

Sejumlah asosiasi industri rokok menolak rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% saat rokok keluar pabrik dan 10% lagi ketika pedagang besar menjual ke pengecer.
Buruh di sebuah pabrik rokok/Ilustrasi-Antara
Buruh di sebuah pabrik rokok/Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah asosiasi industri rokok menolak rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% saat rokok keluar pabrik dan 10% lagi ketika pedagang besar menjual ke pengecer.

Hari ini, Rabu (28/9/2016), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara menyatakan pemerintah berencana mengutip PPN rokok sebesar 10% saat produk tersebut keluar dari pabrik, plus 10% lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.

Dalam keterangannya, Suahasil menjelaskan skema ini diambil agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok.

Suhasil menjelaskan sistem tersebut sudah dikomunikasikan ke industri tembakau. Industri, menurutnya, sudah siap meskpiun membutuhkan waktu dari sisi rantai produksi agar semua pihak taat pajak.

Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suhardjo mengatakan sejatinya pengenaan PPN 10% itu baru akan diterapkan pada 2018 mendatang. Pasalnya tahun ini PPN rokok sudah dinaikkan dari sebelumnya 8,4% di 2015 menjadi 8,7% di Januari 2016.

Nantinya, pada 2017, PPN rokok dijadwalkan naik menjadi 8,9%, dan tahun selanjutnya baru meningkat ke 9,1%.

Menurutnya, kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tersebut diambil setelah adanya kesepakatan dengan pelaku industri rokok. Namun, kini Kementerian keuangan ingin mempercepat jadwal kenaikan tersebut menjadi langsung 10%.

“Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan bahwa tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9%. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah,” katanya seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (28/9).

Dia menilai percepatan kenaikan PPN disebabkan pemerintah panik target pemasukan pajak sulit tercapai sehingga berpotensi terjadinya shortfall yang besar. Akan tetapi, efek pengenaan PPN ini dapat merugikan pelaku industri.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. “Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari,” ujarnya.

Selain itu, jika dipercepat, pelaku industri rokok juga belum siap, terutama segmen distributor. Apalagi, selain kenaikan PPN, di saat yang sama Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea dan Cukai juga berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok. Alhasil, kenaikan PPN dikhawatirkan akan mengganggu penerimaan cukai.

“Ego sektoral masih terasa. Yang satu pimpinan ingin punya prestasi, begitu juga pimpinan lainnya,” keluh Suhardjo.

Pesan senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti yang menyatakan keberatan rencana perubahan tarif PPN dari single stage tax (final) saat sekarang ke multistage tax (umum).

Pertama, perubahan ini membuat efisiensi proses penjualan menjadi menurun. “Kalau kita menggunakan sistem umum itu berarti setiap kali ada transaksi termasuk transaksi salesman kita jual ke retailer atau pengecer, dia harus membuat faktur pajak. Itu ribet sekali,” katanya.

Kedua, ada kekhawatiran para agen karena proses yang berbelit. Ketiga, perubahan sistem akan memakan waktu yang cukup lama. Pasalnya, saat ini perusahaan dengan sistem pembayaran PPN yang sudah berjalan harus merubah kembali.

“Ini memakan waktu karena tidak gampang begitu saja. Membangun sistem, training kepada usernya dan sosialisai. memakan waktu tidak bisa setahun mungkin sampai dua tahun," paparnya.

Keempat, pemberlakuan sistem multi stage akan melibatkan miliaran faktur pajak. Rantai penjualan melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik ke distributor, salesman, kemudian ke toko-toko.

"Katakanlah penjualnya 1.000, kalau jualan outlet 1 juta seluruh Indonesia berarti untuk menyelesaikan kunjungan 1.000 kali 1 juta jadi 1 miliar. Berarti 1 miliar faktur pajak,” jelasnya.

Karena itu, Moefti berharap pemerintah tetap menerapkan sistem single stage. Rencananya, dalam kurun waktu dekat pelaku industri akan kembali melakukan pertemuan dengan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper