Bisnis.com, JAKARTA – Google membangkang. Salah satu perusahaan raksasa digital ini memulangkan surat perintah pemeriksaan sehingga menyulut langkah lanjutan dari Ditjen Pajak.
M. Haniv, Kepala Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jakarta Khusus mengatakan upaya pembicaraan lanjutan dan negosiasi terkait pembayaran pajak perusahaan tersebut terhenti. Hal ini dikarenakan bulan lalu surat perintah pemeriksaan dikembalikan.
“Artinya mereka menolak pemeriksaan. Kita akan tingkatkan itu menjadi bukti permulaan atau semacam investigasi karena menolak untuk diperiksa itu indikasi pidana,” katanya kepada para awak media di Kantor Pusat DJP, Kamis (15/9/2016).
Pada saat yang bersamaan, payung hukum terkait pajak dalam e-commerce juga belum selesai. Dengan tidak menjadi BUT, penyetoran pajak berupa pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai (PPN) pun memang tidak diwajibkan.
Namun, perusahaan tersebut sudah menerimaan penghasilan dari perusahaan lain di dalam negeri, salah satunya dari uang iklan. Oleh karena itu, aspek fairness akan diambil seperti negara lain seperti Australia, Inggris, dan Prancis. Pasalnya, negara-negara itu juga mengalami situasi yang sama.
Dari pemerintah sendiri, lanjutnya, sudah bersiap melakukan perhitungan dengan tarif pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang lebih rendah dari tarif normalnya. Haniv memahami pajak di luar negeri memang lebih rendah.
“Intinya harga diri perusahaannya lah yang disentuh,” tegas Haniv.
Langkah investigasi dan tindakan yang lebih keras akan dilakukan secepatnya. Namun, dalam momentum kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty, pihaknya akan menunggu hingga akhir September 2016.
Keran Penegakan Hukum
Seperti diketahui, Otoritas Fiskal resmi memberhentikan pemeriksaan baru. Hal ini secara resmi tertuang dalam Instruksi Dirjen Pajak No. INS-03/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Undang-Undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
DJP, dalam beleid itu, tidak akan menerbitkan instruksi/ persetujuan/ penugasan pemeriksaan dan/atau surat perintah pemeriksaan baru sejak beleid ini selesai berlaku, atau saat berakhirnya kebijakan pengampunan pajak.
“Karena saya mendengar pada akhir September kemungkinan akan dibuka lagi keran untuk peningkatan law enforcement. Karena kita akan lihat hasil dari tax amnesty ini tapi langkah ini kita akan diskusikan dengan pak Dirjen,” katanya.
Data dashboard amnesti pajak pada pukul 18.00 WIB terpantau berubah format. Komposisi realisasi penerimaan negara dari kebijakan ini berubah bukan hanya menjadi uang tebusan, tapi juga dari pengentian pemeriksaan bukti permulaan dan pembayaran tunggakan pajak.
Uang tebusan baru mencapai Rp18,9 triliun atau 11,5% dari target Rp165 triliun. Sementara, penerimaan dari penghentian pemeriksaan bukti permulaan dan pembayaran tunggakan pajak masing-masing Rp0,3 triliun dan Rp2,2 triliun. Secara total penerimaan mencapai Rp21,3 triliun.
Dua pos penerimaan tersebut, memang bagian dari implikasi dari pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 11/2016. Namun, dalam catatan Bisnis, estimasi Rp165 triliun yang dipatok sebelumnya murni dari uang tebusan.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan instruksi perhentian pemeriksaan memang sedari awal hanya digunakan untuk wajib pajak (WP) yang jelas mengikuti tax amnesty. Artinya, sambung dia, pemeriksaan tetap jalan sepanjang WP bersangkutan tidak mengikuti tax amnesty.
“Kalau enggak [ikut], ya [pemeriksaan] enggak berhenti. Apalagi faktur fiktif, enggak ada ampun,” katanya.