Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia menunggu respons Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait sejumlah usulan revisi regulasi yang memayungi jasa pos dan ekspres.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik (Asperindo) Budi Paryanta menyatakan sejak Februari 2016 pihaknya sudah mengajukan usulan revisi Undang-undang No. 38/2009 tentang Pos.
Pasalnya, UU Pos memiliki substansi yang belum mendistribusikan kepentingan nasional. Menurut Budi, beberapa poin dalam UU tersebut ada yang tidak implementatif karena bertabrakan dengan regulasi lain. Namun usulan tersebut belum direspons oleh pemerintah.
“Misalnya soal masalah kontribusi dari penyedia jasa kurir tidak ada kejelasan, sementara ada dalam aturan PNBP [Penerimaan Negara Bukan Pajak] yng kami evaluasi soal kontribusi yang dikenakan. Nah apakah evaluasi itu akhirnya ditiadakan atau tidak masih di tangan pemerintah,” jelas Budi kepada Bisnis, Rabu (10/8/2016).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/2015 tentang Pajak Penghasilan (PPh) pada Pasal 23 menyebut penyelenggara kiriman atau pos akan dikenakan potongan 2%. Asperindo menyepakati bahawa penyelanggara jasa pos tidak bisa dikenakan kewajiban tersebut.
Dalam PMK tidak menyebut penyedia jasa pos sebagai wajib pajak. Sesuai Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang klarifikasi lapangan usaha wajib pajak bahwa jasa pengiriman yang masuk kelompok 53 adalah pos dan kurir. Tidak termasuk kelompok 52 wajib pajak yang terdiri dari; pergudangan, penunjang angkutan, penanganan kargo, pengurusan transportasi dan ekspedisi.
“Kemudian poin yang lain adalah surat kami soroti soal biaya logiostik yang masih sangat tinggi dengan RA [regulated agent],” ungkapnya.
Budi mengakui bahwa Asperindo juga membuat usulan izin logistik tidak lepas dari izin pos. Budi mendorong regulasi izin sesuai UU No. 38/2009 bahwa layanan yang diakui terdiri atas; layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuanga, dan layanan keagenan pos.
Dia mengkhawatirkan indikasi dari setiap kementerian akan mengeluarkan izin logistik, masing-masing yang akan membuat bias regulasi.
“Makanya kami ingin izin itu jelas terpusat sesuai UU Nomor 38, karena dari semua layanan yang tercantum hanya izin logistik yang menggantung definisi detailnya seperti apa,” jelas Budi.