Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan menyatakan kajian terkait besaran penurunan tarif pajak penghasilan masih akan terus dilakukan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih enggan membeberkan besaran rencana penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), khususnya untuk wajib pajak (WP) badan. Namun, dia menjabarkan poin penting dari langkah ini bermuara pada daya saing ekonomi Indonesia.
“Mengenai keputusan tarif, seperti yang disampaikan Presiden akan dilakukan berbagai kajian, hitung-hitungan,” ujarnya ketika ditemui di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (10/8/2016).
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana penurunan tarif PPh badan yang saat ini 25% menjadi 17%. Ini diklaim menjadi langkah peningkatan daya saing sekaligus reformasi pajak lanjutan pasca kebijakan tax amnesty berjalan.
Presiden juga selalu mengatakan dua pilihan cara penurunan yang sedang dikaji, yakni langsung ke level 17% atau secara bertahap hingga 17%.
Sri mengatakan semangat yang disampaikan Kepala Negara itu sudah ditangkap. Peningkatan daya saing menjadi poin penting agar negara mampu menjalankan berbagai fungsi pembangunan yang masuk dalam program prioritas.
“Jadi kita akan mencari jalan semaksimal mungkin agar keseimbangan dari seluruh tujuan yang dijanjikan oleh Presiden itu bisa terpenuhi. Banyak memang yang harus dikaji secara rutin,” jelasnya.
Dalam catatan Bisnis, di tengah rencana penurunan tarif pajak penghasilan, Indonesia menyerukan upaya penghindaran fenomena perang tarif pajak. Seruan ini dilakukan Menkeu saat itu Bambang Brodjonegoro dalam pertemuan G20 di Chengdu, China, 23-24 Juli 2016.
“Stance kita enggak mau ada kompetisi yang tidak sehat atau yang kita sebut race to the bottom. Bukan malah win-win tapi lose-lose situation,” kata Luky Alfirman, Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan sekaligus Juru Bicara Kemenkeu.
Patokan tarif pajak, sambungnya, berbeda-beda tiap negara karena sesuai dengan karakteristiknya. Antara negara besar dengan negara kecil memiliki kebutuhan atas penerimaan pajak yang berbeda sehingga tidak bisa dicampuradukkan.
Kebutuhan negara kecil terhadap pajak tidak terlalu besar sehingga bisa bermain di sisi tarif. Hal ini berbeda dengan negara besar – termasuk Indonesia – karena memiliki kebutuhan yang besar terhadap penerimaan pajak sehingga tidak bisa begitu saja menurunkan tarif.
Kondisi inilah yang harus diharmoniskan. Dengan demikian, tidak ada fenomena perlombaan penurunan tarif pajak (race to the bottom). Hal ini pula yang mengakibatkan celah munculnya wilayah tax haven.
Indonesia, lanjutnya, memang akan melakukan revisi undang-undang di bidang pajak sebagai salah satu langkah reformasi. Namun, langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan besar di bidang pajak Indonesia.
Apalagi, revisi Undang-Undang PPh akan memberikan fairness, kemudahan bagi wajib pajak (WP), dan kepastian hukum. Selain UU PPh, ada pula revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).