Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengembang berharap Bank Indonesia dapat memberikan trobosan yang lebih radikal terkait kebijakan kredit di sektor perumahan untuk menolong pemulihan industri properti.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi munas Pontianak) Eddy Ganefo mengatakan, industri properti membutuhkan stimulus yang kuat sebab pelemahan penjualan masih berlanjut di kuartal kedua.
Sebagai indikator, riset Indonesia Property Watch (IPW) menunjukkan penjualan rumah Jobedebek-Banten pada kuartal kedua tahun ini turun 13,3% dibandingkan kuartal pertama dan turun 49,82% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai total penjualan hanya Rp1,08 triliun.
Bank Indonesia sebelumnya telah menunjukkan ancang-ancang untuk kembali melonggarkan rasio pembiayaan terhadap nilai agunan atau loan to value (LTV) bagi pembelian properti, tetapi kelihatannya masih setengah hati.
Aturan baru yang dikabarkan akan berlaku Agustus tersebut akan meningkatkan LTV pada bank konvensional dari 80% menjadi 85% untuk rumah pertama, sedangkan bank syariah maksimal 90%. Untuk kredit rumah berikutnya, berlaku selisih (tiering)sebesar 5%, diturunkan dari sebelum 10%.
“Bila perlu agak ekstrim lah, selama ekonomi kita belum benar-benar pulih uang muka bisa dibebaskan saja, disamakan saja untuk rumah kedua dan ketiga juga. Setelah ekonomi naik baru perketat lagi. Gunanya LTV itu kan untuk nge-rem dan nge-gas [penjualan properti]. Tidak perlu takut bubble, penjualan lagi lesu tidak mungkin bubble,” katanya melalui sambungan telepon, dikutip Sabtu (23/7/2016).
Hal yang sama pun diungkapkan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy. REI juga berharap BI masih akan mempertimbangkan untuk melonggarkan LTV setidaknya hingga 90%.
Pelonggaran LTV ini terutama untuk memacu penjualan rumah komersial yang pelemahannya sangat terasa saat ini.
REI juga berharap BI benar-benar akan merealisasikan rencana kebijakan untuk melonggarkan pembiayaan dengan mekanisme inden hingga rumah kedua. Selain itu, tidak perlu ada proses penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk kredit di bawah Rp5 miliar.
“Kami melihat kondisi pasar ekonomi lagi melemah dan perlambatan masih terus berlanjut. Kami berharap ada trobosan yang lebih signifikan dari BI sehingga betul-betul bisa mengangkat daya beli masyarakat terhadap sektor properti,” katanya.