Bisnis.com, JAKARTA—Penyebab kemacetan parah pada mudik Lebaran 2016 yang memakan korban jiwa, terjadi akibat kesalahan sistem transportasi, serta ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Chairman Supply Chain Indonesia Setijadi mengungkapkan sebagian besar pemudik menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi umum kurang memadai dan pengembangan sistem transportasi lebih terfokus pada moda transportasi jalan.
“Untuk Pulau Jawa, pembangunan jalan lebih terfokus di jalur utara. Kondisi tersebut mengakibatkan volume kendaraan yang melonjak tajam pada masa libur Idul Fitri menumpuk pada titik-titik tertentu,” ujarnya, Minggu (10/7). Dia menambahkan kemacetan juga disebabkan akibat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan transportasi di simpul-simpul transportasi, yaitu gerbang tol dan rest area (untuk jalur tol), serta persimpangan jalan, SPBU, dan pasar (untuk jalan non-tol).
Alhasil, pasokan berupa kapasitas semua elemen dalam rantai pasok transportasi tidak mampu mengimbangi kebutuhan, baik elemen utama (jalan tol, pelayanan pintu tol, jalan non-tol, persimpangan, dsb.) maupun pendukung (misalnya SPBU). Selain itu, SCI melihat banyak jalur-jalur alternatif tidak termanfaatkan karena kurang penyiapannya atau kurang terinformasikan kepada para pemudik. Dengan demikian, dia berpendapat pemerintah dan seluruh jajaran terkait perlu melakukan perbaikan untuk tahun-tahun selanjutnya dengan menerapkan supply chain management (SCM) untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan transportasi. “Penyeimbangan harus dilakukan sepanjang jalur transportasi [end-to-end] secara terintegrasi [integrated],” tegasnya.
Dengan demikian, upaya memperlancar atau mengatasi kemacetan secara parsial berpotensi mengakibatkan kemacetan yang bisa lebih parah di titik lainnya, seperti kemacetan dari gerbang tol (GT) Cikampek dan GT Palikanci yang berpindah dan terakumulasi ke GT Brebes Timur sekarang ini. Setijadi juga menekankan pemerintah harus menjaga kapasitas jalur transportasi dan tidak boleh terganggu di sepanjang jalur transportasi sesuai dengan volume kendaraan yang melewati.
Sebagai contoh, walaupun kapasitas semua jalur tol dan jalan arteri memadai, hambatan di salah satu persimpangan atau SPBU dapat mengakibatkan kemacetan luar biasa sehingga diperlukan pemetaan jalur transportasi dan traffic flow dan bottleneck analysis, termasuk prediksi volume kendaraan pada setiap jalur transportasi, baik pada jalur utama maupun jalur alternatif. SCI juga mengingatkan agar semua pihak terkait, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Perhubungan dan instansi pemda terkait, Polri, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), operator jalan tol, operator semua moda transportasi, Pertamina dan pengelola SPBU, dan lain-lain, melakukan koordinasi yang baik sehingga pengendalian sistem transportasi terintegrasi oleh pihak-pihak tersebut.
Sebagai solusi, SCI merekomendasikan program perbaikan sistem transportasi, yang juga dapat dipakai pada masa libur Idul Fitri. Pertama, SCI berharap pemerintah serius melakukan pengembangan transportasi umum berbasis multimoda secara terintegrasi, termasuk peningkatan kapasitas kereta api dan transportasi laut untuk pengangkutan penumpang dan kendaraan berpenumpang, serta kendaraan pribadi baik mobil dan motor.
Kedua, pembentukan/pemberdayaan Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang bertugas melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (sesuai UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Yang paling krusial, Setijadi berpendapat pemerintah segera melakukan restrukturisasi pengelolaan transportasi.
“Termasuk pengalihan BPJT dari Kemen PUPR menjadi di bawah Kemenhub,” ujarnya. Selanjutnya, dia meminta agar pemerintah melakukan percepatan penyelesaian pembangunan jalan tol Trans Jawa dan Jalur Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa. Kelima, SCI memandang perlu adanya revitalisasi jalan non-tol (jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota), termasuk dengan mengurangi potensi kemacetan akibat persimpangan jalan, perlintasan sebidang dengan kereta api, dan dampak kegiatan masyarakat (misalnya pasar). Keenam, pemerintah melalui BPJT harus menjalankan perbaikan pengelolaan jalan tol, termasuk percepatan transaksi di gardu tol dengan transaksi non-tunai dan aplikasi teknologi lainnya.
Kemudian, pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara terpadu, termasuk mengenai kondisi lalu lintas dan jalur-jalur alternatif, harus diupayakan. Terakhir, dia berpesan pemerintah harus mencegah kemacetan akibat antrean di SPBU saat mudik, caranya dengan penyebaran penjualan BBM non-subsidi dalam kemasan, misalnya di outlet-outlet minimarket.