Bisnis.com, Jakarta - Bank Indonesia menyatakan gejolak yang tidak bisa dihindari oleh rupiah berasal dari pernyataan pejabat bank sentral Amerika Serikat soal kepastian kenaikan suku bunganya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menilai rupiah sangat rentan terhadap gejolak eksternal seperti isu kenaikan suku bunga AS.
Hasil dalam rapat dewan gubernur BI terakhir yang memilih mempertahankan BI Rate menunjukkan bank sentral juga mewaspadai isu kenaikan Fed Fund Rate sehingga dapat menyebabkan capital outflow.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Mei 2016 memutuskan tidak memangkas BI Rate sehingga posisinya tetap di 6,75%. Menurutnya, faktor internal seperti inflasi yang rendah di awal tahun hingga deflasi pada April 2016 dan kembali inflasi yang hanya 0,24% di Mei 2016 memungkinkan terjadinya pelonggaran suku bunga acuan.
"Keputusan BI memutuskan untuk mempertahankan BI rate salah satu alasan utamanya adalah karena ancaman eksternal yang masih menghantui kita, khususnya capital outflow jika Fed naik lagi," ucapnya, Rabu (8/6/2017).
Sebelumnya, Gubenur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo dalam Pembahasan RUU tentang Perubahan APBN 2016 memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berada di level Rp13.600.
"Ke depan masih ada risiko paling tidak yang banyak disoroti yaitu Fed Fund Rate masih akan naik dua kali dalam setahun mungkin Juli satu kali dan Desember satu kali," katanya dalam pemaparan pandangan di Komisi XI DPR.