Bisnis.com, JAKARTA – Anggota dewan mempertanyakan langkah pemerintah yang telah memasukkan potensi penerimaan pajak dalam rencana kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Melchias Marcus Mekeng mengatakan langkah ini berisiko karena memasukkan sesuatu yang belum bisa diprediksi secara pasti ke dalam postur yang baru.
“Atau apa pemerintah sudah punya orang-orang yang mau masukin uang? Jadi begitu optimisnya pemerintah memasukkan tax amnesty ke dalam penerimaan. Kalau ini tidak terjadi, akan berbahaya buat APBN kita,” tanyanya saat rapat kerja dengan Menkeu di Komisi XI DPR, Senin (6/6/2016).
Dia pun menyayangkan pemangkasan anggaran belanja hanya Rp47,9 triliun. Padahal, di saat yang bersamaan defisit sudah dipancang dari 2,15% terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,48% terhadap PDB.
Seperti diberitakan sebelumnya, kepercayaan diri yang besar pada keberhasilan rencana kebijakan tax amnesty membuat pemerintah mengerek target pajak penghasilan nonmigas dalam RAPBN Perubahan 2016 hingga 48,3% dari realisasi tahun lalu.
Dalam RAPBN Perubahan 2016, pemerintah mengusulkan target PPh nonmigas Rp819,5 triliun, naik 14,48% dibanding target awal dalam APBN 2016 senilai Rp715,8 triliun. Padahal, tahun lalu, realisasi penerimaan ini hanya mencapai Rp552,6 triliun.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro optimistis selain menambal potensi shortfall – selisih antara realisasi dan target –, kebijakan pengampunan pajak mampu menambah target penerimaan di pos pajak penghasilan (PPh) nonmigas.
“Penerimaan PPh nonmigas naik karena ada penerimaan dari tax anmnesty. Kebijakan tax amnesty kalau disahkan akan optimal dan implementasinya lebih baik,” ujarnya.
Dikereknya target PPh nonmigas ini mengompensasi terkoreksinya target pos lain yang masuk menjadi tanggung jawab DJP. Terlebih, target pos pajak pertambahan nilai direncanakan turun hingga Rp97,5 triliun.
Pemerintah sendiri telah menargetkan adanya tambahan penerimaan negara hingga Rp165 triliun dari kebijakan tersebut. Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak masih dibahas di tingkat panitia kerja dan diharapkan selesai pertengah bulan ini.
KPK
Ditemui terpisah, Wakil Ketua Komisi XI sekaligus anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Achmad Hafisz Tohir mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak bisa diburu-buru hanya untuk menutup shortfall – selisih antara realisasi dan target – penerimaan pajak.
“Bukan bicara shortfall APBN. Mengejar shortfall dengan mempercepat tax amnesty itu salah,” katanya.
Hingga saat ini, pembahasan panitia kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak masih belum selesai. Bahkan, dari 27 pasal yang diusulkan dalam draf, baru sekitar 2 pasal yang sedang pembahasan. Pihaknya mengestimasi RUU tersebut diperkirakan pertengahan Juli.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai agar Presiden bisa mengambil alih kendali pembahasan dengan melakukan konsolidasi dan diskursus bersama para ketua umum Parpol, ketua DPR, ketua Fraksi, asosiasi usaha, institusi penegak hukum, dan masyarakat sipil agar segera diperoleh kesamaan pandangan, maksud dan tujuan.
Secara teknis, fokus kluster isu cakupan pengampunan, tarif tebusan, skema repatriasi dan investasi, perlindungan hukum, dan administrasi pasca-pengampunan, perlu mendapat perhatian serius.
“Presiden juga perlu memastikan tidak ada transaksi dalam pembahasan ini, sebagaimana diwanti-wanti sejak awal, dan menindak tegas bawahannya yang bertindak di luar garis kebijakan Presiden,” tegasnya.
Prastowo juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan proaktif mengawal proses pembahasan RUU agar terjamin steril dari politik transaksional. Siapa pun yang mengambil keuntungan secara tidak bertanggung jawab selama pembahasan RUU Pengampunan Pajak, lanjutnya, harus ditindak.
Langkah ini harus diambil agar kredibilitas kebijakan ini tidak rusak. Apalagi ‘aroma tidak sedap’ mewarnai pembahasan RUU Pengampunan Pajak sehingga berpotensi menjadi bola liar dan dianggap menjustifikasi dugaan maksud dan tujuan pengampunan pajak ini tidak untuk kemaslahatan bangsa.
Penyelesaian yang terburu-buru rawan memunculkan celah dan moral hazard. Kendati demikian, imbuhnya, pembahasan yang bertele-tele akan melelahkan dan menciptakan ketidakpastian.