Bisnis.com, JAKARTA - Tak kunjung diberikannya insentif baik berupa fiskal dan nonfiskal terhadap para pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi membuat peluang investasi di Indonesia berkurang.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, pelaku usaha membutuhkan dukungan pemerintah agar tetap bertahan di masa minyak murah. Hambatan dan kebijakan yang disinsentif diharapkannya bisa dihapuskan. Selain itu, khusus pada masa minyak murah, Pemerintah seharusnya memberi dukungan melalui pemberian insentif.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), menurutnya, sulit menanggung biaya eksplorasi, karena biaya selama kegiatan eksplorasi tak masuk dalam cost recovery atau sistem pengembalian biaya operasi seperti halnya pada kegiatan produksi.
Paling tidak, tuturnya, biaya eksplorasi bisa ditanggung melalui produksi dari blok lain. Dari data IPA, sejak 2009 hingga 2013 biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi 25 sumur di laut dalam menelan biaya US$1,9 miliar.
"Kebijakan fiskal yang ditawarkan menjadi sangat penting ketika investor membandingkannya dengan peluang proyek di negara lain, terutama untuk proyek-proyek berisiko tinggi," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (13/5/2016).
Dengan panjangnya proses perizinan, tingginya pajak, besarnya risiko karena pengembangan industri hulu yang lebih sulit membuat Indonesia kurang kompetitif. Sejak 1970-an, tercatat, waktu yang dihabiskan untuk berinvestasi di hulu migas cenderung lebih panjang.
Pada 1970-an, hanya dibutuhkan waktu selama 5 tahun dari waktu eksplorasi hingga lapangan menghasilkan minyak dan gas. Padahal, secara global, waktu yang dibutuhkan dari kegiatan mencari sumber minyak dan gas hingga berproduksi berkisar 7 tahun hingga 8 tahun.
Di samping itu, panjangnya waktu tidak diimbangi dengan masa kontrak kerja sama. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No.35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, kontraktor memiliki masa kontrak kerja sama selama 30 tahun.