Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi APBN 2016: Pemda Dipaksa Pangkas DAK Fisik Minimal 10%

Imbas dari rencana penurunan target penerimaan dan pagu belanja dalam perubahan APBN 2016, pemerintah pusat meminta setiap pemerintah daerah memangkas pagu dana khusus fisik minimal 10%.
Perkembangan realisasi belanja subsidi dalam APBN. / Bisnis
Perkembangan realisasi belanja subsidi dalam APBN. / Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Imbas dari rencana penurunan target penerimaan dan pagu belanja dalam perubahan APBN 2016, pemerintah pusat meminta setiap pemerintah daerah memangkas pagu dana khusus fisik minimal 10%.

Ketentuan ini diumumkan lewat Surat Edaran Menteri Keuangan No. SE-10/MK.07/2016 tentang Pengurangan/Pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Secara Mandiri Tahun Anggaran 2016 yang ditetapkan pada 8 April lalu.

“Kami mengharapkan Saudara untuk dapat mengurangi/memotong secara mandiri (self-blocking) sebesar minimal 10% dari total pagu alokasi DAK Fisik Tahun Anggaran 2016,” ujar Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro dalam surat kepada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota itu, seperti dikutip Bisnis.com, Kamis (28/4/2016).

Pemangkasan DAK fisik secara mandiri itu dapat dilakukan pada bidang/subbidang sesuai dengan prioritas daerah dengan beberapa pertimbangan, antara lain: pertama, kesiapan proses pengadaan barang dan jasa.

Kedua, kesiapan rencana kegiatan. Ketiga, kesesuaian kegiatan dengan prioritas nasional. Keempat, kemampuan bidang tersebut dalam penyerapan anggaran.

Rincian pemangkasan itu harus disampaikan daerah dan diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan paling lambat Jumat (29/4/2016) pada pukul 17.00 WIB. Hal ini dikarenakan akan dimulainya pembahasan APBNP 2016 pada Mei 2016.

Apabila dalam batas waktu tersebut tiap pemerintah daerah belum menyampaikan laporan pemangkasan secara mandiri, Kemenkeu akan melakukan pemangaksan langsung. 

“Dengan memperhatikan besaran DAK reguler dan/atau DAK infrastruktur publik daerah yang telah dialokasikan,” katanya.

Dalam APBN 2016, Dana Transfer Khusus (DTK) dialokasikan Rp208,91 trilun. Dari pagu tersebut, alokasi DAK Fisik Rp85,44 triliun. Sementara alokasi DAK Non Fisik senilai Rp123,48 triliun.

DAK Fisik terdiri atas DAK Reguler Rp55,1 triliun, DAK Infrastruktur dan Publik Daerah Rp27,5 triliun, dan DAK Afirmasi Rp2,8 triliun. 

Sebelumnya, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengungkapkan dalam mengucurkan DAK, pemerintah pusat berpatokan pada usulan proposal tiap pemda yang telah memiliki diskresi untuk menentukan kegiatan dan ‘menu’ sesuai dengan prioritas kebutuhan.

Dengan demikian, sambungnya, sesuai international best practice, DAK merupakan instrument kebijakan pemerintah dalam mengarahkan daerah untuk mendorong pembangunan infrastruktur pada bidang-bidang yang menjadi prioritas nasional dan kebutuhan daerah serta mengurangi ketimpangan penyediaan layanan publik antar-daerah.

Risiko Stimulus

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan secara strukturnya, karena proposal based, permintaan kepada pemda memang tepat karena ada andil usulan daerah.

Namun, fungsi DAK yang sangat berkaitan erat dengan stimulus dan pelayanan publik akan berisiko pada ekonomi secara keseluruhan. Tidak luput pula akan muncul risiko batal dieksekusinya rencana kebutuhan pemda.

“Ini [DAK fisik] isinya mayoritas infrastruktur dan kebutuhan daerah. Ada potensi mengganggu stimulus fiskal di daerah,” katanya.

Risiko fiskal pemerintah pusat seharusnya menjadi langkah reformasi. Pemangkasan belanja yang tidak produktif seperti perjalanan dinas, rapat-rapat di luar kantor, dan belanja operasional lain seharusnya menjadi sasaran utama.

Apalagi, secara filosofinya, DAK digunakan untuk mendukung upaya percepatan pembangunan daerah, terutama daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah terpencil,  daerah terluar, dan daerah pesisir/kepulauan lewat DAK Afirmasi.

Selain itu, dalam penentuan pagu belanja selanjutnya, basis program seharusnya dikedepankan dari pada fungsi. Selain itu, pemerintah pusat diharapkan bisa lebih realistis dalam menentukan target penerimaan, terutama penerimaan pajak.

“Harus realistis dari awal,” tegasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper