Bisnis.com, JAKARTA – Harta hasil repatriasi dalam kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) harus diinvestasikan ke Tanah Air minimal 3 tahun. Instrumen investasi itu akan ditentukan oleh pemerintah.
Ketentuan ini diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak yang hingga saat ini masih menunggu kepastian pembahasan di DPR.
Dalam draf yang diperoleh Bisnis.com, harta yang dimaksud mencakup harta berupa kas atau setara kas ataupun selain itu.
“Dilakukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat tiga tahun sejak diinvestasikan,” bunyi penggalan pasal 13 ayat (3) seperti dikutip Bisnis.com, Rabu (13/4/2016).
Investasi itu, menurut draf RUU itu dilakukan lewat tiga instrumen yakni surat berharga negara (SBN), obligasi badan usaha milik negara (BUMN) dan investasi keuangan pada bank yang nantinya ditunjuk oleh menteri.
Apabila wajib pajak (WP) ingin berinvestasi di luar tiga instrumen tersebut, masih dalam pasal 13, pemerintah memberikan kesempatan adanya pengalihan investasi di tahun kedua dan/atau tahun ketiga.
Instumen investasi lain yang bisa digunakan dalam periode tersebut, a.l. pertama, obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua, investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Ketiga, investasi di sektor properti. Keempat, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah. Untuk instrumen terakhir, rincian sektor prioritas tersebut akan dijabarkan melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Terkait pengalihan atau repatriasi, untuk harta berupa kas atau setara kas dilakukan melalui bank persepsi sebelum pengajuan surat permohonan pengampunan pajak. Sementara, untuk harta selain itu dialihkan melalui bank persepsi dalam jangka waktu paling lambat 31 Desember 2016.
Hingga saat ini, kendati fokus pada repatriasi modal yang selama ini diparkir di luar negeri, pemerintah masih mengusulkan skema repatriasi ini sebagi opsi. Perbedaan bagi WP yang melakukan repatriasi atau tidaknya akan dilakukan lewat skema tarif.
Seperti direncanakan sebelumnya, untuk tiga bulan pertama, tarif tebusan sebesar 2% terhadap selisih nilai harta bersih yang dimohonkan tax amnesty-nya dengan nilai harta bersih dalam SPT tahunan yang menjadi basis pengurang. Sisanya, tarif tebusan 4% dan 6% dikenakan untuk permohonan tiga bulan kedua dan semester II.
Bagi WP yang melakukan repatriasi dananya, tarif tebusan yang akan digunakan yakni 1% untuk tiga bulan pertama, 2% tiga bulan kedua, dan 3% bagi WP yang mengeksekusi keikutsertaan pada enam bulan terakhir masa berlaku kebijakan.
Likuiditas
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan saat ini pemerintah berharap tax amnesty sudah bisa dijalankan per awal Juni 2016. Terkait dengan instrumen investasi, pihaknya akan berkoodinasi lebih jauh dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasalnya, jika dana yang masuk cukup banyak akan memberikan tambahan likuiditas di Tanah Air. Koordinasi itu dilakukan untuk memastikan kesiapan sistem keuangan. Repatriasi yang tinggi, lanjutnya, tidak bisa dianggap enteng. Di saat bank menerima likuiditas, harus ada penyaluran secara produktif.
“Harus dipastikan penyaluran likuiditas itu tepat dan produktif,” katanya.
Dimintai tanggapan, Juniman, Kepala Ekonom PT Maybank Indonesia Tbk. berpendapat skema instrumen yang ditawarkan pemerintah tersebut sudah cukup bagus. Apalagi, terkait dengan SBN, ada minimalisir risiko.
Namun demikian, untuk menghindari perebutan dana (crowding out), pemerintah bisa menggunakan SBN nontradeable. Risiko crowding out ini bisa terjadi jika pemerintah memakai SBN tradeable tanpa menambah supply di saat demandtinggi.
“Lebih bijaksana pemerintah mengeluarkan obligasi baru nontradeable yang adaholding period-nya. Seperti yang digunakan dalam konversi dana alokasi umum,” katanya.
Eric Alexander Sugandi, Senior Economic Analyst Kenta Institute berpendapat SBN nontradeable memang lebih aman agar tidak ada capital outflow yang mendadak. Namun, dengan SBN nontradeable, ada kemungkinan permintaan imbal hasil yang menarik bagi WP.
“Tapi saya rasa dengan bocornya dokumen panama papers, bargaining positionpemerintah semakin naik. Jadi itu bisa diatasi,” katanya.
Destry Damayanti, Direktur Eksekutif Mandiri Institute menilai pemerintah harus memilih instrumen SBN yang tepat. Jika dana yang masuk diarahkan ke SBNtradeable, dia berujar akan ada risiko persaingan dengan investor reguler dan pada gilirannya merusak sistem pasar.
“Sektor keuangan kita masih dangkal. Kalau arus dana masuk gede di [SBN] tradeable bahaya karena akan merusak pasar. Suplai akan langsung terbang, harga turun,” tuturnya.
Masih dangkalnya pasar keuangan itu salah satunya bisa terlihat dari rasio obligasi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang pada 2014 tercatat hanya 14%.
Padahal, capaian indikator ini di Malaysia, Thailand, dan Filipina masing-masing tercatat 101%, 73%, dan 36%.
Indikator aset asuransi terhadap PDB dan aset reksa dana terhadap PDB Indonesia pada 2013 juga masih sangat rendah, masing-masing sebesar 6,9% dan 2,3%. Padahal, di Malaysia, dua indikator tersebut masing-masing tercatat 21,2% dan 50,5%.