Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri menilai kajian pengenaan cukai pada plastik kemasan air minum yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal salah sasaran dan berpotensi semakin menurunkan penerimaan negara.
Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin), mengatakan dibutuhkan kajian yang komprehensif untuk mengenakan cukai pada plastik kemasan air minum, mengingat pelaku usaha ini di Indonesia mencapai 700 unit dengan 2.000 merek dagang.
“Ini industri padat karya dengan ratusan ribu tenaga kerja. Konsumen industri air minum dalam kemasan sangat sensitif dengan perubahan harga. Jika pengenaan cukai tetap dipaksakan, potensi penurunan penjualan akan menimbulkan efek ganda,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (30/3/2016).
Industri air minuman kemasan, lanjutnya, berhubungan langsung dengan industri plastik, serta logistik. Dengan demikian, pengenaan cukai yang berpotensi menekan permintaan juga berdampak langsung pada produksi industri plastik dan logistik nasional.
Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun kajian ini. Karena, sesuai undang-undang yang berlaku, pengenaan cukai diberikan kepada barang tertentu yang perlu dikendalikan, peredaran diawasi, menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan dan lainnya.
Jika isu lingkungan yang dijadikan dasar kajian pengenaan cukai, lanjutnya, hal ini tidak relevan. Pasalnya, limbah plastik kemasan air minum yang memiliki nilai ekonomi tinggi ditarik dan dikumpulkan kembali oleh industri daur ulang plastik.
“Limbah plastik air kemasan bernilai tinggi, sehingga dicari sebagai bahan baku industri plastik daur ulang. Persentase daur ulang limbah plastik air kemasan paling tinggi ketimbang plastik jenis lainnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan berhati-hati memberlakukan cukai pada plastik air kemasan yang pada tahun lalu berproduksi 24,7 miliar liter kubik dengan pertumbuhan rata-rata setiap tahun berkisar 8%-10%.