Bisnis.com, JAKARTA - Sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement belum sepenuhnya menjamin proses lelang jasa konstruksi bersih dari praktik korupsi. Pasalnya, sistem lelang elektronik juga masih bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mementingkan kepentingan pribadinya.
Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengungkapkan, infrastruktur menjadi sektor utama yang mendapatkan perhatian besar dari KPK dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, anggaran belanja infrastruktur yang tahun ini mencapai Rp313,5 triliun dan tersebar di beberapa kementerian/lembaga teknis dinilai rawan disalahgunakan.
“Secara sistem, penggunaan e-proc mestinya membuat korupsi berkurang, tetapi semua kembali lagi kepada mentalitas, karena sistem secanggih apapun, bandwith, bisa dimainkan sepanjang mental dan integritas masih koruptif,” ujarnya
Menurut data KPK, jenis perkara kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa menduduki urutan kedua terbesar setelah kasus penyuapan, yakni berjumlah 145 kasus sejak 2004 hingga 2016, sementara penyuapan berjumlah 228 kasus. Dia menyebutkan saat ini KPK juga masih mengusut kasus suap yang melibatkan anggota Komisi V DPR RI dari fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti sebagai tersangka terkait proyek pembangunan jalan di Maluku.
Dia menyayangkan masih maraknya perilaku koruptif pada pelaku usaha jasa konstruksi, yang turut dipengaruhi oleh lingkungan dan sistem yang tidak bersih. Untuk itu, ujarnya, KPK berencana untuk memperberat sanksi hukum bagi perusahaan yang terjerat kasus korupsi.
“Saat ini masih jabatannya yang dijadikan tersangka, ke depannya kita ingin nama perusahaan pelaku usaha itu yang menjadi tersangka. Kita membuat perusahaan untuk sustain.Korupsi mungkin bisa membuat perusahaan survive dengan menang tender, tetapi tidak secara sustain,” tambahnya.
Wakil Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Suaid Didu mengatakan iklim usaha jasa konstruksi saat ini masih memiliki sejumlah tantangan, antara lain sulitnya mendapatkan proyek tanpa ada kolusi. Selain itu, standarisasi sistem pelelangan umum belum diterapkan secara menyeluruh kepada semua instansi dan lembaga yang terkait.
Hal ini sesuai dengan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) yang menyebutkan masih ada 70% paket pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yang belum transparan karena tidak dilelang secara elektronik dalam dua tahun terakhir. Meski demikian, LKPP mencatatkan kenaikan pagu lelang elektronik pada 2015 yang mencapai Rp316 triliun, dari tahun sebelmnya yang hanya Rp310 triliun
“Kadang pemenang tender tidak didasarkan pada asas kompetensi, kapasitas dan kapabilitas, tetapi sebagian besar didasarkan pada siapa yang kawal, dan besarnya setoran,” ujarnya.
Dia menambahkan, kurangnya pembinaan dan akses lembaga pembiayaan terhadap kontraktor spesialis, menengah dan kecil (SMK) menyebabkan rendahnya tingkat daya saing kontraktor jenis ini. Padahal, kontraktor SMK jumlahnya mencapai 88,90% atau mendominasi jumlah kontraktor daerah yang tergabung dalam Gapensi.
Deputy Director Bandung Advisory Group Yuyu Komariah menilai sistem e-procurement proyek-proyek pemerintah pusat dapat berjalan dengan baik. Namun, berdasarkan pengamatannya, dia tidak memungkiri bahwa hal yang sama belum tentu dapat diterapkan pada proyek daerah.
“Sistem pemerintah pusat dapat dijalankan dengan baik, tetapi ada beberapa daerah yang biasanya melakukan sesuatu di sistem penyedia jasa. Ada kongkalingkong antara aparat dengan pelaku usaha, sehingga pelaku jasa konstruksi yang benar tidak masuk lingkaran itu [pemenang tender],” ujarnya.
Dia kemudian mengutip data World Bank yang menyatakan bahwa kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa berkisar 10% hingga 50%, terutama di sektor konstruksi. Adapun pengaduan masyarakat terkait perkara pengadaan barang dan jasa ke KPK hingga 2012 mencapai sekitar 4.000 pengaduan.
Menurut Yuyu, sikap feodalisme menjadi akar munculnya perilaku koruptif. Dalam konteks pelayanan publik, aparat pemerintah yang masih memegang teguh feodalisme akan memiliki sikap selalu ingin dihormati dan dilayani. Sikap itu kemudian dapat membentuk budaya “setia” kepada pihak yang memberikan gratifikasi kepada aparat.
Untuk itu, dia menghimbau masyarakat untuk aktif berperan dalam pengawasan terhadap proyek jasa konstruksi, terutama yang menggunakan uang negara. Selain itu penguatan etos kerja, integritas, dan sikap profesional harus selalu ditanamkan pada setiap aparat pemerintah dan pelaku usaha jasa konstruksi.