“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk.”
“Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.”
Bisnis.com, JAKARTA - Pidato Joko Widodo yang dibacakan sesaat setelah dilantik sebagai Presiden di Gedung DPR RI pada Senin (20/10/2014) itu terasa membekas dan mengena di benak banyak pihak ketika itu. Singkat, padat, dan jelas.
“Jalesveva Jayamahe” tiba-tiba hadir kembali menghiasi update-an status media sosial dan personal messenger beberapa rekan. Sejak awal pencalonan dirinya sebagai calon Presiden, Jokowi telah mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Berdiri di atas podium megah berhiaskan rangkaian mawar merah dan lili putih, Jokowi yang berstelan jas hitam dan dasi merah darah menyerukan ajakan bekerja keras untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritime.
Kini, 16 bulan sejak pidato perdana Presiden Jokowi itu, hasil dari proses pembenahan poros maritim masih dinanti.
Awal tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempublikasikan temuan dan hasil observasi di bidang kemaritiman. Akhir 2014 atau bertepatan dengan pergantian kepemimpinan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelesaikan temuan dan observasi lapangan terkait pengelolaan bidang maritim di Indonesia. Salah satunya mengenai potensi penerimaan negara di bidang kelautan dan perikanan.
Berdasarkan observasi tersebut, KPK menyatakan pengurusan perizinan SIUP/SIPI/SIKPI di sektor kelautan dan perikanan masih rentan praktik gratifikasi, pemerasan dan pidana korupsi yang berdampak pada kerugian negara.
Dugaan kerugian negara yang paling nyata yakni terdapat 70,9% dari total 2.036 perusahaan/pemilik kapal yang mengoperasikan kapal >30 GT yang tidak tercatat/terindetifikasi memiliki NPWP, sebagai indikator pembayaran pajak.
Di sisi lain, banyak perusahaan kapal ikan asing yang telah memperoleh izin, tercatat sebagai bukan perusahaan penangkapan atau pengangkutan ikan.
Perusahaan-perusahaan itu bergerak di bidang non perikanan seperti pertanian, agrobisnis, pengangkutan darat, pertambangan batubara, percetakan, dan sebagainya. Bahkan terdapat perusahaan yang tidak tercatat dalam database pada Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM.
Selain itu, hasil observasi di lapangan menunjukkan adanya perubahan data ukuran kapal untuk menghindari pengurusan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) – sehingga pengurusan izin cukup di pemda.
Perubahan data ukuran kapal juga dilakukan untuk menghindari pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP).
Sebelum KPK mempublikasi temuannya, Susi Pudjiastuti yang ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan cepat merespons sejumlah “bolong” di tempat kerjanya yang baru.
Dengan langkah cepat, Susi melakukan banyak perombakan, khususnya mengenai perizinan kapal tangkap, yang menjadi masalah awal besarnya kerugian negara akibat illegal fishing selama ini.
Dia menerbitkan PermenKP No. 56/2014 tentang penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Permen tersebut berlaku untuk kapal eks asing >30 GT terhitung sejak 3 November 2014 - 30 April 2015, yang dalam pelaksanaannya diperpanjang hingga akhir 2015.
Sejalan dengan itu, Susi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Illegal Fishing yang berfungsi melakukan Analisis dan Evaluasi (Anev) terkait dugaan praktek pencurian ikan ilegal dari berbagai celah.
Hasilnya, tim satgas menghasilkan sejumlah temuan, seperti ribuan kapal terindikasi memiliki satu izin untuk 3-4 kapal sekaligus dan mempekerjakan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan asing (WNA). Selain itu, banyak kapal terindikasi tidak membayar pajak, memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang tidak berfungsi, berlayar tanpa Surat Laik Operasi (SLO) sampai manipulasi data dengan menurunkan ukuran kapal di dokumen (mark down).
Dian Patria, Plt. Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan temuan yang diperoleh tidak bisa langsung didefinisikan sebagai tindakan korupsi. Sebabnya, banyak kemungkinan yang terjadi dari pihak pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha dalam praktek pemberian izin.
Namun, dia menegaskan temuan tersebut sebagai indikasi adanya sistem yang berjalan tidak sesuai dengan peraturan. Dia mengharapkan hasil kajian KPK dapat mendorong tersedianya acuan data yang valid. Hal itu mengingat permasalahan pembangunan di banyak sektor selama ini selalu berhadapan dengan perbedaan data.
Awal Kekusutan
Secara garis besar, Dian mengatakan akurasi data menjadi awal kusutnya benang perizinan kapal. Hal ini berujung pada minimnya pendapatan negara yang diperoleh dari sektor ini.
Dia menuturkan data Direktorat Perhubungan Laut mencatat ada sekitar 15.000 kapal, tetapi data KKP menyebutkan sekitar 650.000 kapal penangkap ikan. Memang, KKP merinci bahwa kapal yang didata termasuk kapal nelayan berbobot kecil, seperti perahu tanpa motor (<5GT).
“Kami minta detailnya. Karena kami maunya kapal ini by name by address, atau setidaknya, kapal ukuran 10-30 GT itu sama lah datanya antara yang dimiliki Kemenhub dan KKP,” tuturnya.
Lebih jauh, ujarnya, ketidaksesuaian data mendorong terciptanya tiga masalah utama dalam menjaring penerimaan negara, yaitu potensi penerimaan pajak yang hilang, setoran PNBP yang tak maksimal, serta keleluasaan kapal yang seharusnya tidak menikmati subsidi BBM, mengambil untung dari pemalsuan dokumen bobot kapal.
Pertama, potensi penerimaan pajak yang hilang. Temuan KPK mengindikasikan adanya 70,9% kapal dari 2.036 perusahaan/pemilik kapal tidak memiliki NPWP. Artinya, banyak pengusaha dengan kapal-kapal besar selama ini tidak membayar pajak penghasilan (PPh) secara rutin usai menangkapi ikan.
Lihat saja, penerimaan pajak sektor kelautan dan perikanan hanya Rp158,4 miliar atau menyumbang 0,016% dari total penerimaan pajak nasional yang mencapai Rp980,6 triliun pada 2014. Nilai tersebut kontras bila dihadapkan dengan fakta bahwa dua per tiga wilayah Indonesia merupakan perairan, sehingga sektor ini seharusnya bisa berbicara lebih banyak.
Kedua, berdasarkan pemantauan pemerintah dan Satgas Anti Illegal Fishing, banyak kapal yang berlayar di Indonesia memalsukan dokumen untuk menurunkan bobot kapalnya. Dengan menurunkan bobot, pengusaha memperoleh keringanan saat menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), karena penghitungan pungutan ditentukan oleh besaran GT kapal.
“Berdasarkan kajian kami, PNBP yang dipungut dibandingkan dengan nilai produksi ikan laut hanya 0,3% dari total. Sangat kecil sekali,” jelas Dian.
Ketiga, kerugian akibat pengusaha yang melakukan mark down bobot kapal untuk mendapatkan dua benefit sekaligus, pembayaran PNBP yang rendah dan kesempatan menikmati subsidi BBM yang diperuntukkan untuk kapal di bawah 30 GT.
Dalam satu kesempatan, Susi menyatakan jumlah kapal di atas 30 GT yang melakukan praktek tersebut mencapai 70% dari total kapal yang ada. Dugaan mark down kapal dikarenakan adanya pemisahan kewenangan perizinan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Aturannya, kapal lebih dari 30 GT wajib mengurus izin di pusat dan menyetor pungutan hasil perikanan. Sementara itu, kapal di bawah 30 GT cukup mengurus izin di level provinsi.
Sayangnya, Dian mengatakan pengukuran bobot kapal yang dilakukan oleh Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan sejak pertengahan tahun lalu belum juga menunjukkan tanda selesai. Artinya, proses pembenahan di sektor ini, masih belum maksimal dalam menemukan bentuk idealnya.
LEBIH BAIK
Kendati banyak bolong dalam pelaksanaannya, Dian mengakui kinerja KKP jauh lebih baik dengan memberikan tindak lanjut sesegera mungkin setelah mendapatkan temuan-temuan ini pada tahun lalu.
Salah satunya, tindak lanjut berupa kerja sama antara dengan Kementerian Keuangan terkait optimalisasi penerimaan negara di sektor kelautan dan perikanan.
“Dari seluruh Kementerian, bisa dibilang langsung progresif dan cukup baik menindaklanjuti hasil temuan. Apakah sudah optimal? Saya rasa belum, karena masih dalam proses kan,” jelasnya.
Menurut Dian, KKP langsung menelusuri NPWP atau melakukan cleansing hasil temuan KPK lewat data Direktorat Pajak.
Kementerian pimpinan Susi ini juga seakan melakukan pembaharuan dari sisi kepemimpinan. Mayoritas pejabat eselon I dan II di kementerian itu merupakan wajah-wajah baru, yang diharapkan cukup responsif dalam melakukan pembenahan menuju sistem yang lebih baik.
Saifudin, Direktur Pengendalian dan Penangkapan Ikan KKP, menyebutkan hasil koordinasi antara pihaknya dan Ditjen Hubla dituangkan dalam bentuk pelayanan terpadu untuk penerbitan dokumen kapal dan dokumen perizinan bagi kapal penangkap ikan yang telah maupun akan mengukur ulang.
Hanya saja, layanan tersebut baru diselenggarakan di sejumlah titik seperti di Belawan, Semarang, Pekalongan, Cirebon dan PPS Nizam Zachman (Jakarta). “Sedangkan untuk pelaksanaan di daerah lain menunggu kesiapan masing-masing daerah,” tuturnya.
Selanjutnya, KKP akan mempercepat izin kapal hasil pengukuran ulang melalui Pelayanan Terpadu Perizinan sampai pada penerbitan SIPI. Hal itu sekaligus merupakan upaya jemput bola untuk menggenjot penerimaan PNBP. Pasalnya, dampak penataan kembali izin kapal cukup menekan PNBP di sektor ini pada tahun lalu dengan ‘hanya’ menghasilkan Rp77,48 miliar.
Seiring mulainya perbaikan dan berlakunya tarif pungutan perikanan berdasarkan PP No. 75/2015, ujarnya, pihaknya berupaya merealisasikan target PNBP pemerintah yang naik hingga 795% menjadi Rp693 miliar.
Dalam beleid baru tersebut, tercantum tarif baru komponen penerimaan PNBP, yaitu PHP. Untuk skala kecil, persentasenya ditetapkan 5%, untuk skala menengah 10%, dan usaha besar 25%. Untuk usaha menengah dan besar, PHP baru yang harus disetorkan pengusaha melonjak masing-masing 400% dan 1.000% dibandingkan sebelumnya.
Masalahnya, sejumlah nelayan pemilik kapal menolak beleid tersebut, dan meminta revisi dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Artinya, hal tersebut bisa menjadi sandungan kembali bagi KKP yang berniat melakukan pembenahan besar-besaran untuk mengembalikan potensi penerimaan yang selama ini minim.
Terlebih lagi, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengindikasikan proses pengukuran kapal baru akan selesai seluruhnya paling cepat tiga bulan lagi dari saat ini, atau pada Mei.
“Karena memang makan waktu. Jadi kapal yang berlayar, sandar ke pelabuhan kita periksa lagi,” jelasnya saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, belum lama ini.
Dengan percepatan penghitungan ulang, makin banyak potensi penerimaan PPP dan PHP. Hal ini diharapkan dapat memuluskan dua hal, pertambahan penerimaan dan semakin ringannya beban pemerintah yang selama ini menanggung subsidi BBM untuk pemilik kapal yang tidak berhak.
Susi Pudjiastuti, dalam beberapa kesempatan menyatakan potensi kerugian negara sedikitnya mencapai Rp300 triliun/tahun akibat praktek pencurian ikan ilegal.
Kendati demikian, dalam tahap pembenahan sistem ini, Susi menegaskan pemerintah tidak akan melakukan kriminalisasi terhadap pegawai pemerintah dan pengusaha yang terlibat dalam persoalan mark down bobot kapal penangkap ikan.
Namun, lanjutnya, hal tersebut tidak berlaku tahun depan apabila pembenahan registrasi ulang atau proses pengukuran kembali selesai pada tahun ini.
“Kami beri [pengusaha kapal] kesempatan untuk perbaiki sekarang dulu. Tetapi kalau tidak dilaksanakan sekarang, misalnya tahun depan [melakukan mark down kembali] tentu akan kami pidanakan,” ujarnya.
Susi Pudjiastuti yang berani dan eksentrik cukup konsisten dalam membenahi sektor kelautan dan perikanan sejauh ini. Namun, masih perlu upaya keras untuk mengawasi proses perizinan kapal dan tata kelola kemaritiman, sehingga Jalesveva Jayamahe yang digaungkan saat pelantikan Kepala Negara pada 2014 lalu dapat terwujud. (Irene Agustine/Anggi Oktarinda)