Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saat Petani Sumsel Tak Melulu Pasrah dengan Alam

Selama ini petani sawah rawa lebak di Sumatra Selatan sangat bergantung pada cuaca. Menunggu kemarau untuk bertanam dan harus panen sebelum sawah tergenang ketika musim penghujan tiba.
Pekerja sedang menanam padi di wilayah Bhubaneswar, Thailand (19/7/2014)./Reuters-Stringer
Pekerja sedang menanam padi di wilayah Bhubaneswar, Thailand (19/7/2014)./Reuters-Stringer

Bisnis.com, JAKARTA - Selama ini petani sawah rawa lebak di Sumatra Selatan sangat bergantung pada cuaca. Menunggu kemarau untuk bertanam dan harus panen sebelum sawah tergenang ketika musim penghujan tiba.

Akibatnya, petani sawah rawa lebak seringkali hanya bisa bercocok tanam satu kali dalam setahun. Itu pun masih saja dihantui kegagalan, manakala banjir datang atau kemarau berkepanjangan.

Padahal, Sumsel merupakan salah satu lumbung padi di Tanah Air yang menempati posisi keenam sebagai daerah penghasil beras.

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel, Erwin Noor Wibowo mengatakan indeks pertanaman (IP) sawah di provinsi itu masih banyak yang hanya satu kali tanam.

“Memang masih banyak, tetapi kan kita tidak mungkin selamanya pasrah dengan alam. Harus ada teknologi untuk meningkatkan indeks  pertanaman itu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (15/2/2016).

Rawa lebak mendominasi tipologi lahan sawah di Sumsel, yakni sekitar 300.000 hektare  dan seluas 198.208 ha masih satu kali tanam.

Selain sawah lebak, IP satu kali juga terjadi di tipologi lahan sawah lainnya, seperti pasang surut seluas 188.987 ha dan tadah hujan seluas 41.472 ha. Hanya lahan irigasi saja yang IP 200-nya lebih banyak ketimbang IP 100, yaitu seluas 79.222 ha.

Pemerintah daerah, kata Erwin, sebetulnya sangat membuka diri terhadap teknologi untuk peningkatan IP sawah lebak.

“Kendala rawa lebak itu kan saat musim penghujan genangannya tinggi sehingga butuh metode pompanisasi untuk mengeluarkan, sementara saat kemarau butuh kanalisasi untuk mengairi,” katanya.

Gayung bersambut. Distributor beras nasional Topi Koki Group mencoba menerapkan sistem tata air mikro di sawah lebak yang berada di Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel.

Sukarta, Direktur Topi Koki Grup, mengatakan pihaknya “berburu” solusi untuk tata air mikro sawah lebak itu hingga ke Vietnam.

“Kami studi banding sampai Vietnam karena kondisinya hampir sama dengan sawah lebak di Sumsel, bahkan di sana bisa banjir sampai 3 meter tetapi mereka bisa tanam dua sampai tiga kali dalam setahun,” katanya saat penanaman padi perdana di Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, Sabtu (13/2/2016).

Sebetulnya sistem yang diterapkan pihaknya cukup sederhana dan bisa ditiru para petani, yaitu pompanisasi dan kanalisasi.

Sukarta menjelaskan pompa yang dipakai itu merupakan hasil studi banding di Vietnam dan bisa dirakit sendiri dengan biaya terjangkau oleh petani.

“Pembuatan pompanya butuh biaya sekitar Rp20 juta – Rp30 juta, kami pikir kelompok tani bisa menerapkannya,” katanya.

Sukarta mengatakan pompanisasi dan kanalisasi itu sangat cocok diterapkan di sawah bertipologi rawa lebak dan pasang surut yang tersebar di Sumatra maupun Kalimantan.

“Syaratnya harus ada akses sungai. Sumsel punya berkah, anak sungainya [Sungai Musi] kemana-mana, kalau tidak ada anak sungai mau dibuang kemana?” ujarnya.

Menurut dia, produktivitas sawah lebak pun diyakini dapat mencapai 8 ton per ha dengan tata air mikro tersebut berkisar dari 3 ton hingga 6 ton per ha.

Dengan potensi luas lahan pasang surut dan rawa lebak di Sumsel yang cukup luas, kata Sukarta, pihaknya optimistis mampu menghasilkan panen minimal dua kali dalam setahun.

“Jika memanfaatkan sistem irigasi baru ini diperkirakan mampu dua kali tanam dan akhirnya meningkatkan produksi beras Sumsel secara signifikan,” katanya.

PANGKAS MATA RANTAI

Sementara itu Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) berharap peningkatan indeks pertanaman yang berujung pada penambahan produksi bisa memangkas mata rantai perdagangan beras.

Ketua Umum Perpadi Sutarto Ali Muso mengatakan kondisi di lapangan seringkali pengusaha kekurangan pasokan beras. “Kemampuan penggilingan kita ini lebih besar daripada ketersediaan bahan bakunya, supaya tidak terjadi rebutan perlu peningkatan di sektor hulu,” katanya.

Menurut Sutarto, panjangnya mata rantai perdagangan beras disebabkan pengusaha besar mengerahkan pedagang pengepul untuk mengamankan pasokan.

“Sekarang ini kan terjadi seperti perebutan barang, itu yang buat panjang mata rantai. Berasnya kemana-mana, dari Jawa Barat di bawa ke DKI Jakarta,” katanya.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat distribusi perdagangan beras nasional mencapai sembilan mata rantai. Sementara untuk wilayah Sumsel sepanjang tujuh mata rantai. Artinya rentangnya masih panjang!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dinda Wulandari
Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper