Bisnis.com, JAKARTA - Suatu hari pada awal 2015, ponsel saya bergetar. Sebuah pesan masuk. Seorang kawan yang menetap di Kalimantan Timur berkeluh kesah.
"Saya terpaksa membeli aki mobil dan inverter untuk mengisi daya baterai ponsel dan laptop karena listrik padam,” ujar sang kawan.
Awal tahun ini, kawan lainnya dari Kota Manado mengabarkan kota di ujung utara Sulawesi itu gelap gulita. Padahal, pembangkit listrik terapung sudah berlabuh. Memang, tak berapa lama, temaram kota kembali menjadi terang.
Cerita mereka itu bisa jadi mewakili kegundahan banyak masyarakat di seantero Indonesia yang menginginkan listrik tanpa byar-pet, tanpa pemadaman yang mengganggu aktivitas.
Bicara tentang pemadaman listrik yang terjadi di banyak daerah, pemerintah mengakui hal itu karena kurangnya pasokan listrik. Jika tidak kunjung ada perhatian khusus, maka krisis listrik bisa terjadi dalam tiga hingga empat tahun ke depan.
Untuk mengatasi kurangnya pasokan listrik, memang perlu terobosan luar biasa. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, kapasitas pembangkit listrik terpasang hingga akhir 2015 ‘hanya’ sebanyak 55.523 megawatt (MW), atau ada kenaikan 2.458 MW pada 2015.
Cadangan listrik yang terbatas itu menjadi bukti ketidakmampuan pasokan listrik untuk mengimbangi pertumbuhan kebutuhan. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pembangunan pembangkit hanya 6,5%.
Sementara itu, pertumbuhan permintaan listrik mencapai 8,5%. Untuk itulah, pemerintah mencanangkan megaproyek 35.000 MW pada 2019 atau 7.000 MW per tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 25.904 MW dibangun oleh pengembang listrik swasta dan 10.681 MW digarap oleh PT PLN (Persero).
Paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) itu, pada penghujung 2015, sebanyak 46 investor pengembang listrik swasta (independent power producer /IPP) telah menandatangani kontrak proyek pem bangkit listrik sebesar 17.000 MW.
Target pembangunan pembangkit oleh PLN akan dipangkas menjadi 5.000 MW agar badan usaha milik negara (BUMN) setrum itu bisa fokus membangun transmisi. Pasalnya, sepanjang 2015, PLN hanya menyelesaikan 3.941 kilometer sirkuit (kms) atau 33,38% dari target pembangunan sebanyak 11.805 kms.
Pada proyek transmisi inilah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah kejanggalan.
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2015 mengungkapkan pelaksanaan 15 pekerjaan jasa borongan Unit Induk Proyek Jaringan PLN mengalami keterlambatan dan belum dikenakan denda keterlambatan. Akibatnya, PLN belum dapat memanfaatkan pendapatan denda Rp253,32 miliar.
Selain itu, PLN juga belum menerima pelunasan biaya penyambungan dan penambahan daya tegangan tinggi sebesar Rp50,72 miliar dari dua pelanggan industri, meskipun pekerjaan tersebut telah selesai dilakukan.
BPK juga menyebutkan denda keterlambatan Rp6,65 miliar dari pekerjaan pengadaan dan pemasangan trafo di PLN Penyaluranm dan Pusat Pengaturan Beban Wilayah Jawa dan Sumatera (P3BS) belum diterima rekanan.
Temuan lain, pembelian/ pengadaan barang di PLN dan PT Sang Hyang Seri (SHS) senilai Rp203,36 miliar tidak dimanfaatkan. Permasalahan yang ditemukan sebanyak tujuh gardu induk dan gas insulated substation yang dibangun PLN senilai Rp192,15 miliar belum dimanfaatkan karena terkendala pembebasan lahan, material yang belum terpasang atau transmisi yang belum selesai.
Terkait dengan temuan BPK tersebut, Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi telah bertemu dengan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Dia menyebutkan dalam hal inefisiensi, bayar penalti dan denda PLN, ada istilah penyelesaian tindak lanjut yang artinya berproses. Proses mencicil tersebut biasanya diambil dari pos laba bersih karena kalau dibayar sekaligus, modal BUMN akan habis untuk mengganti kerugian.
“Kebijakan-kebijakan begini, kami sudah masuk. Semoga, saat ini BUMN merasakan cara pemeriksaan yang berbeda. Saya inginnya, ujungnya nanti, mereka akan berterima kasih ke BPK karena sudah diperiksa untuk mendapatkan masukan.”
Sejak dua pekan lalu, Bisnis meminta konfirmasi kepada PLN terkait dengan temuan BPK tersebut. Namun, belum ada tanggapan resmi dari perseroan. Manajer Senior Public Relation PLN Agung Murdifi mengatakan belum ada konfirmasi dari rekan-rekan PLN yang menangani temuan BPK itu.
Sementara itu, Kementerian ESDM dalam paparannya kepada Ko misi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan pokok-pokok temuan BPK di sektor ESDM adalah permasalahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pengelolaan piutang PNBP, dan pengelolaan persediaan yang akan diserahkan ke pemerintah daerah.
Selain itu, ada juga temuan pencatatan aset tak berwujud serta permasalahan kontrak infrastruktur ketenagalistrikan yang tidak disetujui perpanjangan izin tahun jamaknya.
EVALUASI PEMERINTAH
Untuk itu, kementerian yang dipimpin oleh Sudirman Said itu telah melakukan sejumlah tindak lanjut. Di sektor ketenagalistrikan misalnya, ESDM telah mengevaluasi dan menyempurnakan beberapa peraturan menteri terkait dengan pengadaan barang dan jasa pada sektor infrastruktur ketenagalistrikan dan persediaan yang akan dihibahkan ke pemerintah daerah.
Selain itu, kementerian juga telah menugaskan PLN untuk menyelesaikan kontrak-kontrak infrastruktur ketenagalistrikan yang izin perpanjangan kontrak tahun jamak tidak disetujui.
Berkaitan dengan temuan ini, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menjawab singkat, “Tanyakan ke PLN, itu tanggung jawab mereka.”
Pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan seperti transmisi menjadi poin kunci agar listrik proyek pembangkit listrik 35.000 MW bisa disalurkan ke masyarakat.
Untuk itulah, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 4/2016 tentang Percepatan Pem bangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan untuk menggenjot pembangunan transmisi.
Pasalnya, kendala utama pembangunan transmisi adalah persoalan pembebasan lahan. Selain itu, pemerintah juga membuka keran sehingga pembangunan transmisi bisa dikerjakan oleh swasta dalam negeri.
Nantinya, perusahaan lokal berpeluang memasok komponen lokal sekaligus memasang jaringan. Meskipun begitu, semua proyek pembangunan transmisi tetap akan diawasi oleh PLN.
Selain itu, pengoperasiannya juga harus tetap di tangan PLN. PLN juga akan meninjau lebih jauh lokasi pembangunan transmisi serta memilah mana yang nantinya akan diserahkan ke swasta dan mana yang tetap dibangun oleh PLN.
Menurut Jarman, keterlibatan swasta untuk pembangunan transmisi telah memiliki payung hukum, sehingga legalitasnya tidak perlu dipertanyakan. Dalam mengajak keterlibatan swasta, PLN diawasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
BPKP juga akan mengawasi saat perseroan akan menentukan harga serta standar komponen yang sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Setelah harga dan standar cocok, perusahaan dapat memasok komponen.
Peningkatan komponen lokal ini, ujar Jarman, sesuai dengan arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta 100% komponen jaringan listrik berasal dari dalam negeri.
Menurutnya, transmisi tidak kalah pentingnya dengan pembangkit. Pembangunan jaringan transmisi harus selesai tepat waktu dan sesuai dengan pengoperasian pembangkit.
Untuk mendukung program pembangkit 35.000 MW, PLN harus membangun jaringan transmisi sepanjang 46.000 Km.
Pembangunan tersebut membutuhkan lahan dengan total luas 80.000 m2. Setiap kilometer jaringan tersebut membutuhkan dua tiang transmisi, sehingga ada lebih dari 80.000 tiang yang bakal berdiri. Masingmasing tiang itu membutuhkan tapak seluas 800-1.000 m2.
Di sisi lain, pihaknya kini sedang menghitung besaran subsidi listrik yang diperkirakan akan bertambah dan akan diusulkan dalam RAPBNP 2016. Pihaknya mencatat terjadi peningkatan jumlah pengguna.
Untuk penyambungan baru saja, ujarnya, sebanyak 70%-80% di antaranya merupakan pengguna listrik 450 kVA dan 900 kVA yang notabene menikmati subsidi listrik.
Berkaitan dengan subsidi ini, Achsanul mengungkapkan pihaknya sudah bertemu Sofyan Basir. Dari pertemuan itu, pihaknya menemukan pembayaran subsidi listrik ke PLN yang paralel dengan biaya dari PLN.
“Semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh PLN, semakin besar biaya subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah, besarnya 8%. Misalnya biaya Rp100 triliun tahun ini, maka PLN memperoleh subsidi Rp8 triliun,” jelasnya.
Lantas, perkaranya, akankah jika penambahan subsidi itu disetujui dalam APBNP 2016 bisa ‘menyehatkan’ neraca keuangan PLN, serta mendorong BUMN setrum itu untuk semakin ekspansif dalam pembangunan transmisi di Tanah Air?
()