Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pelaku usaha industri karet alam dalam negeri mengeluhkan keputusan pemerintah yang membuka 100% kepemilikan asing pada sektor industri karet alam atau crumb rubber.
Pasalnya, saat ini pabrik di dalam negeri telah mengalami kapasitas berlebih (overcapacity).
Aturan tersebut tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-X yang diumumkan pemerintah beberapa waktu lalu. Industri karet sebelumnya termasuk daftar negatif investasi (DNI) seperti diatur dalam Perpres Nomor 39 tahun 2014.
Kendati demikian, dalam Paket Kebijakan Ekonomi X, pemerintah membuka kepemilikan asing untuk 35 bidang usaha, salah satunya adalah industri karet. Pelaku usaha menilai, baik dari dalam maupun luar negeri, pendirian pabrik karet baru seharusnya dimoratorium.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), Moenardji Soedargo mengatakan saat ini pabrik karet alam yang telah berdiri berjumlah 140 pabrik dengan kapasitas mencapai 5,2 juta ton per tahun.
“Padahal, produksi kita per tahun hanya rata-rata 3 juta ton. Jadi ada gap produksi dan kebutuhannya sebesar 2 juta metrik ton. Pemerintah seharusnya terlebih dahulu meningkatkan produksi di hulu untuk memenuhi kapasitas yang sudah ada,” ungkap Moenardji di Jakarta, Senin (15/2).
Gapkindo mencatat pada 2015 lalu produksi karet di dalam negeri yaitu 3,153 juta ton dan ekspor sebesar 2,6 juta ton. Untuk diketahui, rata-rata hingga 90% produksi karet alam Indonesia diekspor dan hanya sekitar 300.000 ton yang diserap di dalam negeri.
Moenardji menjelaskan saat ini petani kerap memasok karet yang belum dibersihkan sehingga pekerjaan pabrik pengolahan karet alam dalam negeri menjadi lebih panjang. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, bahan karet Indonesia merupakan yang paling kotor.
Oleh karena itu, pabrik pengolahan karet Indonesia merupakan yang paling tidak efisien daripada negara produsen lain. Kalau negara lain dibiarkan membuka industri antara di dalam negeri, dipastikan industri yang ada akan kalah bersaing mengingat bunga bank domestik merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
“Kalau industri [antara] kita ini sudah mapan. Tidak perlu dari luar [investor asing]. dari 140 pabrik yang sudah ada, mayoritasnya itu penanaman modal domestik dan saat ini sudah overcapacity,” jelas Moenardji.