Bisnis.com, MALANG - Penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah tak otomatis akan menggairahkan bisnis properti jika daya beli masyarakat masih rendah.
Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Komisariat Malang Umang Gianto mengatakan jika suku bunga KPR turun, tetapi daya beli masyarakat masih rendah maka bisnis properti otomatis tetap akan melesu.
“Karena itulah, pengembang masih belum berani berekspansi di tengah kondisi pasar yang seperti itu,” ujarnya di Malang, Senin (15/2/2016).
Seperti diketahui, setelah turunnya suku bunga acuan, sejumlah bank penyaluran kredit kepemilikan rumah juga beramai-ramai menurunkan suku bunga di sektor ini. Penurunan dilakukan secara bertahap.
Menurut Umang, untuk meningkatkan daya beli masyarakat maka otomatis ekonomi harus tumbuh. Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi, lewat belanja pemerintah
melalui a.l realisasi proyek-proyek infrastruktur.
Karena itulah, dia berharap, proyek-proyek infrastruktur segera dapat direalisasikan sehingga memeberikan dampak positif bagi pertumbuhan sektor riil sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Dengan meningkatnya daya beli masyarakat, maka permintaan akan barang dan jasa, termasuk properti residensial, otomatis akan tumbuh. Kebutuhan rumah tetap tinggi sesuai dengan dinamika kependudukan, yakni adanya keluarga baru lewat pernikahan.
Untuk rumah bersubsidi, dia yakinkan, pangsa pasarnya tetap tumbuh karena keluarga baru dari masyarakat berpenghasilan rendah juga tumbuh.
Namun dari sisi pasokan, masih tanda tanya jika tidak ada insentif dari pemerintah. Karena itulah pemerintah perlu mendorong percepatan dari sisi pasokan rumah bersubsidi dengan memberikan insentif bagi
pengembangnya. Insentif untuk konsumen, end user, untuk rumah sebenarnya cukup banyak. Terakhir segera direalisasikan Tapera (Tabungan Perumahan
Rakyat).
Yang dikhawatirkan, dari sisi permintaan rumah bersubsidi meningkat tajam dengan berbagai insentif dari pemerintah sehingga konsumen berpenghasilan rendah tingkat kemampuan membeli rumah lebih tinggi.
Namun problemnya, jika dari sisi pasokan justru kurang, bahkan tidak ada, maka program tersebut menjadi kurang relevan. Bentuk insentif bagi pengembang perumahan bersubsidi, kemudahan perizinan, perpajakan, dan bantuan prasarana sarana utilitas (PSU).
Problem pengurusan perizinan bagi perumahan bersubsidi, kata Umang, masih tidak berkurang. Prosesnya masih panjang dan banyak meja yang harus dilalui. Panjangnya meja birokrasi otomatis akan meningkatkan biaya.
Masalah lain, terkait dengan pajak daerah dan pajak penghasilan. Pajak daerah yang sering dikeluhkan pengembang, terkait dengan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Tingginya tarif BPHTB berdampak pada tingginya PPh final yang dikenakan kepada pengembang. Di sisi lain, bantuan PSU, kata Umang, juga sangat kurang. Realisasi
bantuan pemerintah berupa PSU untuk kompleks perumahan bersubsidi sangat kurang.