Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LKK KADIN: Revisi DNI Kian Sudutkan Pebisnis Lokal & UMKM

Lembaga Konsultasi Logistik, Kepabeanan dan Kepelabuhanan (LKK) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta menilai revisi Perpres No.39/2014 tentang Dafar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau Daftar Negatif Investasi (DNI) akan makin menyudutkan pengusaha nasional dan UMKM dan Koperasi.
Pengrajin bingkai foto/Ilustrasi-Antara
Pengrajin bingkai foto/Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Konsultasi Logistik, Kepabeanan dan Kepelabuhanan (LKK) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta menilai revisi Perpres No.39/2014 tentang Dafar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau Daftar Negatif Investasi (DNI) akan makin menyudutkan pengusaha nasional dan UMKM dan Koperasi.

Ketua LKK Kadin DKI Jakarta Widijanto mengatakan Perpres No.39/2014 membuat pebisnis lokal dan UMKMK terpinggirkan, karena penerapan kebijakan tersebut selama ini tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.

Berdasarkan kajian LKK Kadin DKI Jakarta, katanya, investor asing selama ini mitranya bukan pengusaha lokal atau Warga Negara Indonesia (WNI), tapi dengan suku bangsa mereka sendiri yang telah membuka perusahaan di Indonesia.

"Jadi investor Jepang mitranya dengan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Investor Korea dengan perusahaan Korea yang sudah berdiri di Indonesia. Demikian juga dari negara-negara lainnya. Ini berarti, tetap saja mereka menguasai 100% saham kegiatan bisnisnya di Indonesia. Akibatnya, pebisnis di negeri ini tidak berkembang pesat seperti di negara tetangga.” ujarnya melalui siaran pers LKK Kadin DKI, Minggu (7/2/2016).

Untuk itu dia berharap pemberlakuan DNI dapat diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Mitra lokalnya harus benar-benar pelaku usaha nasional. Akibatnya, bangsa kita akan menjadi penonton di negeri sendiri.

"Untuk itu, BKPM itu perlu direformasi.Jangan asal memberikan izin PMA dengan target-target investasi tinggi tanpa memikirkan perekonomian bagi bangsanya sendiri.”ujar Widijanto yang juga menjabat Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta.

Dia menegaskan apabila kebijakan tersebut akan direvisi, sebaiknya dilakukan untuk kegiatan usaha yang bersifat padat modal, menggunakan teknologi tinggi dan sektor usaha yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Widijanto mencontohkan di sektor pariwisata, usaha seperti tempat karaoke (singing room) kabarnya kepemilikan saham oleh asing akan diperluas. Sesuai dengan Peraturan Presiden No.39/2014 yang saat ini pihak asing sudah bisa memiliki 49% saham dan 51% saham asing bila bermitra dengan UMKMK akan diperluas kepemilikan asing hingga 67%. "Sektor ini kan relatif gampang dan telah dikerjalan UMKMK, kenapa peran asing diperluas. Ini jelas akan mematikan pelaku usaha lokal.”paparnya.

Dalam situasi ekonomi dunia yang penuh dengan ketidakpastian saat ini, kata Widijanto, pemerintah seharusnya lebih peduli dengan investor industri manufaktur yang sudah eksis agar usaha mereka bisa berkembang.

Dia menilai, kejadian hengkangnya sejumlah industri dari Indonesia dalam beberapa tahun terakhir seperti Chevrolet menutup pabrik di Bekasi, Panasonic dan Toshiba yang menutup pabriknya di Jawa Timur dan Jawa Barat seharusnya tidak terjadi bila kebijakan pemerintah tepat dalam mendukung sektor industri.

Widijanto mencontohkan kebijakan Kementerian Perdagangan yang mengizinkan industri manufaktur impor barang jadi tanpa batas waktu untuk test market mendorong mereka menjadi trader (pedagang).

Kebijakan ini akhirnya menimbulkan deindustrialisasi, karena dengan mengimpor barang jadi lebih menguntungkan daripada memproduksi barang di Indonesia. Supaya tidak terjadi deindustrialisasi, dia menyarankan impor bahan baku bea masuknya nol persen dan ditambah dengan insentif di bidang perpajakan, sehingga barang yang mereka produk harganya bisa lebih kompetitif.

Widijanto mengungkapkan,persoalan lain yang dihadapi industri saat ini adalah permasalahan upah buruh yang harus naik tiap tahun sesuai dengan peraturan yang baru PP No.78/2015 tentang Pengupahan, dimana upah harus disesuaikan dengan tiap tahun sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sementara perekonomian dunia saat ini sedang melemah.

"Maka dari itu, kebijakan tripartit, yang melibatkan Pemerintah, Pengusaha dan Buruh dalam penetapan upah perlu diterapkan lagi. Para pekerja akan dapat melihat dan memahami kondisi perusahaan dalam keadaan merugi atau menguntungkan, sehingga para pekerja tidak demo terus seperti sekarang,"ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Akhmad Mabrori

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper