Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah akan mengevaluasi badan usaha yang belum memulai konstruksi ruas tol yang telah diteken perjanjiannya. Data BPJT mencatat, dari 41 proyek tol yang ada, terdapat 18 ruas sepanjang total 597 km yang belum mulai konstruksi.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna mengatakan sejak Oktober 2014 hingga Oktober 2015, terdapat 41 proyek tol sepanjang tol 1.319 km yang telah memiliki Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Dari jumlah tersebut, baru 23 proyek lainnya sepanjang 722 km dalam masa konstruksi.
“Jadi karena ini kebanyakan persoalannya tanah, kita sediakan dulu tanahnya, kita lihat dulu. Tapi kalau tanahnya sudah tersedia, mereka [badan usaha] belum membangun, baru kita beri sanksi,” ujarnya, Selasa (05/01/2016)
Herry menyebutkan beberapa ruas tol yang belum dibangun berada di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Beberapa di antaranya , seperti Kunciran—Serpong, Serpong—Cinere, dan Cibitung—Cilincing. PIhaknya juga terus melakukan pemetaan terhadap ruas-ruas tol lain yang belum konstruksi.
Menurutnya, skema PPJT yang baru memberikan kemudahan dalam pelaksanaan konstruksi. Bila sebelumnya kontraktor baru bisa membangun setelah tanah yang dibebaskan mencapai 75%, kini proses konstruksi bisa dimulai dengan memanfaatkan ketersediaan tanah yang ada.
Dia mencontohkan dalam proyek tol Batang—Semarang sepanjang total 75 km yang kini tengah dilelang ulang oleh pemerintah, lahan yang telah dibebaskan baru 30 km. Sebagai gantinya, untuk memberikan kepastian bagi para investor, pemerintah menyertakan penjaminan atas tanah dari PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
“Jadi bisa langsung mengerjakan karena tanahnya akan tersedia bulan ke sekian. Kalau ternyata terlambat, nanti PII akan menjamin akan dibayar secara tunai, yang bayar pemerintah, sehingga BUJT ini bisa mulai kerja tanpa menunggu tanah 75%” tambahnya.
Herry memahami kesulitan yang dihadapi para investor atas lambatnya proses penyediaan lahan. Pasalnya, lahan menjadi salah satu faktor yang menjadi pertimbangan perbankan dalam memberikan pinjaman.
Guna menyiasati anggaran lahan yang terbatas, pihaknya menilai perlunya optimalisasi dan Badan Layanan Umum (BLU) tanah dan landcapping yang tersedia. Selain itu, pemerintah juga mendorong keterlibatan badan usaha dalam pembebasan lahan.
Hal ini dimungkinkan dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Salah satu klausul (pasal 117A) menyebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat bersumber terlebih dahulu dari badan usaha selaku instansi yang memerlukan tanah, dan diganti oleh pemerintah dengan APBN di kemudian hari.