Bisnis.com, JAKARTA -- Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Doa dan harapan para pengembang pada akhir 2014 agar cuan mengalir deras di Tahun Kambing Kayu ternyata tidak terkabul. Sepanjang 2015, industri properti justru terhuyung hingga mencapai titik nadir.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan daya beli, depresiasi rupiah, ketidakpastian peraturan pajak, dan peraturan kredit yang lebih ketat menjadi kombinasi yang membuat industri ini menderita. Penderitaan itu bisa tercermin dari kinerja perusahaan pengembang yang sudah melantai di pasar modal.
PT Bahana Securities, dalam laporan bertajuk 2016 Compendium Trying to Lift Off, melansir keuntungan sembilan emiten properti turun 22,6% pada kuartal III/2015. Padahal, setahun sebelumnya raihan laba tumbuh 32%.
Bahana memprediksi hingga akhir 2015 keuntungan sembilan emiten properti bisa tumbuh 2,3%. Jika prediksi Bahana tepat, hal itu akan sangat menyesakkan dada. Pasalnya, sepanjang 2014 emiten properti mencatat pertumbuhan laba sebesar 117,3%.
Penurunan kinerja sembilan emiten properti sebetulnya tidak terlalu mengherankan karena seluruh emiten punya konsentrasi di segmen menengah dan atas, dua segmen yang paling loyo sepanjang tahun ini.
Dalam riset Indonesia Property Watch (IPW), penjualan di segmen menengah dan atas masing-masing turun 36,9% dan 31,8%. Survei properti yang diterbitkan Bank Indonesia juga memprediksi pertumbuhan harga di dua segmen itu tidak akan melampaui level 4% pada akhir 2015.
Tentu, hal tersebut menjadi kondisi yang tidak menguntungkan bagi para pengembang yang asyik bermain di segmen menengah dan segmen atas. Namun, kondisi itu tak perlu di ratapi.
Sekadar mengingatkan, segmen menengah dan atas ini pernah mengalami ledakan atau booming dalam periode 2012— 2014. Saat itu, penjualan properti meroket, tecermin dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah/apartemen yang mencapai 22%—30%.
Berdasarkan siklus, fase melandai memang kerap terjadi setelah ledakan terlewati. Jika segmen menengah dan atas terbilang suram, lain halnya dengan segmen menengah bawah.
Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyebut segmen tersebut menjadi penyelamat pertumbuhan industri pada tahun ini. Riset IPW bahkan mencatat penjualan properti di segmen menengah bawah naik 57%.
Pemerintah dan regulator di sektor pembiayaan tahun ini memang tengah fokus mencurahkan perhatian ke segmen menengah bawah. Ini dilakukan demi menyokong program satu juta rumah yang digalakkan pemerintah sejak April 2015.
Pemerintah memang punya kepentingan yang sangat besar ter hadap segmen menengah bawah. Data Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat menunjukkan, 93% dari jumlah defisit hunian sebanyak 13,5 juta disumbang dari kelas masyarakat berpenghasilan di bawah Rp4 juta per bulan.
BANYAK KENDALA
Perhatian tidak berarti tanpa ujian. Sepanjang tahun ini, fokus pemerintah dalam program satu juta rumah terganjal banyak kendala, mulai dari penyediaan lahan, perizinan, hingga keterbatasan anggaran.
Anggaran subsidi pembiayaan perumahan sebesar Rp5,1 triliun sudah habis terserap pada Juli 2015 untuk membiayai 76.000 unit rumah. Pemerintah pun terpaksa berutang pada Bank BTN untuk tetap melanjutkan kredit subsidi hingga akhir tahun.
Utang tersebut akan langsung dilunasi tahun depan saat anggaran untuk fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dialokasikan Rp9,3 triliun. Di sisi lain, pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan yang mengatur penyederhanaan perizinan perumahan. Permasalahan yang kompleks di sektor hulu ini cukup menyita waktu sehingga diestimasi tidak akan rampung dalam tahun ini.
Perizinan sangatlah krusial. Di tingkat pemerintah daerah, perizinan akan dipangkas menjadi delapan tahap dari sebelumnya 27—42 tahap. Semakin ringkas perizinan, biaya pembangunan akan semakin efisien. Alhasil, harga jual bisa ditekan.
Selain penyederhanaan izin, regulasi kepemilikan properti oleh warga negara asing juga tengah dibenahi. Pemerintah akan menetapkan batasan harga yang boleh dimiliki WNA sebesar Rp5 miliar untuk apartemen dan Rp10 miliar untuk rumah tapak.
Secara umum, sepanjang tahun ini pemerintah memang terlihat ingin membenahi infrastruktur hukum untuk memperbaiki iklim investasi. Ini terlihat dari penetapan batas kena pajak properti mewah dan deregulasi pajak untuk dana investasi realestate (DIRE). Dengan kata lain, di samping penuh ujian, 2015 juga penuh dengan pembenahan.
Secara perlahan, pembenahan ini diyakini akan membuat in -dus tri properti beranjak dari keterpurukan sehingga ta hun depan para pemangku kepentingan kembali optimistis. Properti siap lepas landas.