Bisnis.com, JAKARTA--Malam pertama Desember 2015, publik dikejutkan dengan pengunduran diri Sigit Priadi Pramudito sebagai orang nomor satu otoritas pajak.
Keterkejutan itu bukan hanya karena begitu singkatnya Sigit menjadi Gatot Subroto-1, sebutan untuk markas besar Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, melainkan juga perkiraan shortfall--selisih antara target dan penerimaan--yang tidak disangka-sangka, kian menganga.
Pasalnya, sehari setelah 'lempar handuk', Sigit menyampaikan perhitungan realisasi penerimaan pajak tahun ini mentok hanya akan mencapai 80%-82% dari target APBNP 2015 (minus PPh Migas) sebesar Rp1.244,7 triliun atau shortfall sekitar Rp224,04 triliun - Rp246,94 triliun.
Di kediamannya, Bisnis berkesempatan mewawancarai secara khusus Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro soal detik-detik pengunduran diri mantan anak buahnya itu dan keputusannya untuk menunjuk pelaksana tugas dirjen pajak.
Sebenarnya, apa yang terjadi ketika Dirjen Pajak mundur?
Ya, kalau dibilang dadakan, buat saya juga agak mendadak. Karena terus terang, malam sebelum dia kirim surat [pengunduran diri], Pak Sigit mengirim pesan singkat ke saya. Waktu itu, soal UU Tax Amnesty yang didorong-dorong oleh DPR. Itu kan tentunya, DPR tidak mau dalam posisi tersebut. Lalu saya bilang ke Pak Sigit, "Lain kali tidak usah mempersoalkan, siapa yang mengambil inisiatif, DPR atau pemerintah. Ini sudah keputusan bersama, pemerintah juga mau memakai UU ini."
Setelah itu, mungkin dia merasa, selama ini kok komunikasi dengan DPR kurang mulus. Lalu, target juga tidak dikendalikan dengan baik. Sehingga, akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Lalu dia kirim surat. Ketika malam sebelumnya itu dia memberitahukan akan mengundurkan diri, saya mulai berpikir.
Di satu sisi, ya mungkin bisa saja saya bilang, "Ini kan tinggal sebulan, jangan ditinggal begitu saja." Tapi kan di sisi lain, kan kami punya tiga staf ahli yang memang ditugaskan untuk membantu Dirjen [Pajak], salah satunya Pak Ken [Ken Dwijugiasteadi, yang kemudian ditunjuk menjadi Plt. Dirjen Pajak yang menggantikan Sigit]. Dan saya tahu, Pak Ken ini orang lapangan. Orang lapangan, dan dia terus yang membawa saya untuk ketemu Wajib Pajak (WP) di berbagai kota, WP besar real estate, kelapa sawit, dan banyak lain.
Kemudian saya berpikir, ya sudahlah, tersisa satu bulan, shortfall masih cukup besar, butuh orang yang tahu lapangan. Artinya, butuh orang yang tahu, di mana kantong-kantong yang ada penerimaannya. Ya sudah, saya tunjuk Pak Ken jadi pelaksana tugas dulu. Belum jadi dirjen definitif karena membutuhkan Keputusan Presiden.
Jadi itu kira-kira. Menurut saya, persoalan DPR dan RUU Tax Amnesty tidak perlu terlalu dibesar-besarkan lah.
Lalu bagaimana shortfall pajak tahun ini?
Kalau saya mengatakan shortfall, dari dulu itu hitungan Dirjen Pajak [Sigit Priadi]. Masalahnya hitungan dia mundur terus. Kan itu menimbulkan ketidakpastian, karena di ujung tahun begini kita tidak bisa tiba-tiba memotong belanja lagi. Susah.
Makanya, saya berpikir, kalau Pak Sigit sudah tidak sanggup, ya tidak perlu dipaksakan. Daripada nanti akan lebih sulit lagi, bagaimana mengatasi defisit di akhir tahun. Jadi, saya harus cari orang yang masih punya akal jernih, bagaimana mencari penerimaan pajak, Desember ini bisa Rp225 triliun.
Mengenai perkiraan defisit 2,7% tahun ini, apakah bukan isu?
Ya kan kita tidak melewati 3%. Masih dalam range yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kita pasti akan jaga di batas 3% itu. Begini, soal defisit anggaran itu, tanpa kita mau mencari alasan, di negara lain kan lebih besar. Kemarin waktu saya ke Bangkok, Thailand, saya lihat data defisit anggaran mereka itu pernah 4%, 3% sekian, tapi pernah juga 2%. Malaysia lebih besar lagi.
Bayangkan, kalau belanja kita pangkas sejak awal, pertumbuhan makin susah terangkat, karena tidak ada leading sector yang mau masuk duluan. Inilah, pemerintah harus mempunyai peran yang lebih besar.
Di satu sisi, kita memang punya tantangan besar di penerimaan. Kita harus benar-benar jaga. Desember ini adalah pertaruhannya. Worst case ya 2,7%-2,8%. Kalau anggaran daerah itu malah surplus. Tapi ya sudah lah, itu tidak usah dipakai. Kita kalau bisa punya defisit lebih rendah ya bagus, tapi jangan terkunci, sehingga spending tidak mau.
Secara historis, pertumbuhan penerimaan pajak pada Desember paling tinggi hanya 10%, bagaimana cara menutup shortfall ini?
Ya memang begitu, tapi ada juga sejarahnya, penerimaan pajak Desember itu dua kali lipat November. November ini kan kita dapat Rp105 triliun, jadi Desember kami target minimal Rp210 triliun. Jadi hanya kurang Rp15 triliun, yang bisa kita cari dari revaluasi aset, masih ada reinventing policy, extra effort yang lain plus penerimaan rutin.
Masih bisa terkejar Rp225 triliun?
Pak Ken sudah menunjukkan ke saya, itu bisa. Mencari penerimaan Rp225 triliun di Desember ini masih dalam jangkauan. Jadi shortfall Rp195 triliun. Kalau pertumbuhan, dengan perkiraan total shortfall Rp195 triliun, maka growth penerimaan pajak sekitar 12% dibandingkan tahun lalu. Itu sudah lumayan dalam kondisi seperti ini.
Sebenarnya kalau waktu itu akses terhadap data perbankan itu jalan, bisa. Itu saya bukan mundur, tapi semua pada teriak. Itu bukan rahasia bank dibuka, tapi nasabahnya yang diminta. Pada 2017 itu, UU Perbankan memang tidak boleh lagi terlalu rahasia. Coba bayangkan, negara seperti Swiss saja sudah membuka, tidak ada lagi bank secrecy. Sudah tidak ada.
Kalau sekarang, saya meneken satu demi satu, case by case. Nanti 2017, ditjen pajak bisa langsung masuk akses data perbankan, seperti Internal Revenue Service [IRS/otoritas pajak Amerika Serikat]. Kenapa IRS kok kelihatan sangat hebat? Karena dia bisa masuk akses semua data. Persoalan pajak itu kuncinya ada di data dan informasi kok. Tanpa data, ya tidak bisa apa-apa.
Apa tidak ada niat sewa investigator untuk membantu?
Sebenarnya tidak usah menyewa investigator untuk mengumpulkan data di luar, kita sudah punya exchange of information. Pakai itu saja bisa, selesai. Tapi sekarang kan tidak otomatis, jadi harus minta ke Swiss, ke Singapura, Hong Kong, Cayman Island.
Lantas, apakah Pak Ken akan ditetapkan sebagai dirjen pajak definitif atau ada seleksi lagi?
Lihat dulu, saya tidak mau berandai-andai. Lihat penerimaan Desember saja dulu. Tidak usah jauh-jauh.
Pewawancara: Arys Aditya, M.G. Noviarizal Fernandez, Arif Budisusilo
Wawancara Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro: "Saya Harus Cari Orang yang Masih Punya Akal Jernih"
Sehari setelah 'lempar handuk', Sigit menyampaikan perhitungan realisasi penerimaan pajak tahun ini mentok hanya akan mencapai 80%-82% dari target APBNP 2015 (minus PPh Migas) sebesar Rp1.244,7 triliun atau shortfall sekitar Rp224,04 triliun - Rp246,94 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Arys Aditya
Editor : Saeno
Konten Premium