Bisnis.com, JAKARTA - Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP 21) yang berlangsung di Paris, Perancis, pada 30 November—11 Desember 2015 membawa agenda penting, yakni semua negara harus berkomitmen untuk mengurangi pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, dengan menentukan jenis kontribusi berdasarkan kondisi sosial ekonominya.
Komitmen yang ambisius itu baru akan efektif bila langkah-langkah konkret yang dilakukan sejalan dengan upaya-upaya mengurangi pemanasan global.
Industri kelapa sawit kerapkali dituding ikut menyumbang emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global. Upaya-upaya konkret untuk memastikan tata kelola perkebunan yang memperhatikan aspek lingkungan menjadi sangat penting.
Indonesia, dengan luas kebun sawit mencapai 11 juta hektare yang terdiri dari 51% dikelola perusahaan swasta, lalu 7% dikelola perusahaan negara, dan sisanya sekitar 42% dikelola oleh petani, menegaskan komitmen mengedepankan prinsip pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan memberikan dampak bagi kesejahteraan petani.
Bagi pelaku bisnis di Indonesia, terutama yang bergerak di industri sawit berkepentingan dalam menyelaraskan pengembangan industri sawit dengan agenda perubahan iklim.
Dalam sesi pertemuan European Palm Oil Conference (EPOC) di Milan, Italia, yang berlangsung pada 27—28 Oktober 2015, Eropa merupakan pasar utama bagi sawit Indonesia.
Pada 2014, sekitar 3,09 juta ton sawit Indonesia masuk ke pasar Eropa, terbesar ketiga setelah India 3,87 juta ton dan China 3,2 juta ton.
Dari data tersebut tergambar seberapa besar potensi ekspor yang bisa dicapai Indonesia. Industri sawit sejauh ini tercatat sebagai penyumbang ekspor di Tanah Air.
Selain itu, dampak terhadap kesejahteraan petani juga terasa sehingga mampu membawa misi dalam pengentasan kemiskinan.
Besarnya potensi pasar bagi industri sawit, para pelakunya dihadapkan pada tantangan agar terus mampu melanjutkan praktik-praktik pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan yang menekankan pada aspek perlindungan lingkungan.
Di samping itu, keberhasilan perusahaan sawit dalam membangun kemitraan dengan para petani telah terbukti memberi manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memperhatikan aspek lingkungan.
Pola kemitraan dengan petani tetap dikembangkan dengan semangat mengembangkan perkebunan berkelanjutan dan ramah lingkungan serta pada gilirannya akan ikut berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Pembukaan lahan dengan cara membakar harus ditinggalkan, termasuk bagaimana menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan di dalam pengelolaan perkebunan.
Pelaku industri sawit di Indonesia perlu meningkatkan kontribusi kebun sawit petani, baik yang dikelola secara kemitraan maupun mandiri, masuk dalam supply chain global dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi serta berpihak terhadap perlindungan lingkungan.
Dalam Conference of Parties 21 di Paris, Perancis, Rabu 3 Desember 2015, Managing Director Asian Agri, Kelvin Tio, menyatakan sebagai salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia, pihaknya menyadari pentingnya pengelolaan perkebunan sawit secara berkelanjutan dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
“Asian Agri saat ini telah menggandeng 29.000 petani dengan melibatkan 60.000 hektare lahan sawit untuk dikembangkan dengan pola inti-plasma, kemitraan antara perusahaan dengan petani,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (3/12/2015).
Menurutnya, skema kemitraan itu telah dikembangkan selama 28 tahun dan salah satu pola inti-plasma terbesar di industri sawit. Dengan pengalaman tersebut, Asian Agri optimistis pola tersebut dapat diterapkan kepada para petani swadaya yang mengelola perkebunannya secara mandiri.
Pendampingan terhadap petani swadaya perlu dilakukan guna meningkatkan produktivitas hasil perkebunan serta menjamin akses terhadap pasar yang lebih terjamin.
Selain itu, petani swadaya memperoleh pengetahuan secara langsung dalam mengelola perkebunan yang mengedepankan kelestarian lingkungan sehingga produknya memiliki nilai tambah di pasaran.
Asian Agri secara bertahap melakukan pendampingan terhadap petani swadaya pada 2012. Hasilnya, saat diluncurkan pada tahun 2012 lalu, sekitar 2.791 hektare lahan perkebunan petani swadaya, tergabung dalam program kemitraan tersebut.
Saat ini, ada lebih dari 17.000 hektare lahan yang merepresentasikan lebih dari 5.000 keluarga petani swadaya, telah bergabung di dalam program tersebut dan menikmati pendampingan dan fasilitasi dari Asian Agri.
Targetnya, hingga 2020 Asian Agri dapat memberikan pendampingan secara optimal kepada petani swadaya dengan luas lahan hingga 60.000 hektare.
Dengan demikian, lima tahun ke depan perusahaan dapat berperan meningkatkan kesejahteraan petani dengan melibatkan pengelolaan 120.000 hektare lahan sawit dengan pola inti plasma maupun swadaya.
Muaranya, pola kemitraan tersebut dapat mendorong produktivitas petani, meningkatkan kesejahteraannya, serta memberi manfaat terhadap produk sawit berkualitas yang dihasilkan.
Dengan demikian, industri sawit di Tanah Air dapat terus berproduksi tanpa harus melakukan pembukaan lahan baru atau ekstensifikasi, melainkan melakukan intensifikasi melalui peningkatan kemitraan dengan petani serta perbaikan cara-cara pengelolaan perkebunan.