Praktik ‘perjokian’ ternyata juga terjadi dalam investasi yang berasal dari luar negeri. Hal ini biasanya terjadi pada bidang usaha yang masuk dalam daftar negatif investasi atau sektor di mana investasi asingnya dibatasi dengan ketat.
Hal semacam ini dikenal dengan sebutan praktik nominee atau pinjam nama. Secara sederhana, praktik nominee dalam investasi adalah menggunakan nama orang Indonesia tetapi secara faktual perusahaan tersebut dikuasai oleh investor asing.
Sebenarnya hal ini sudah dilarang secara tegas dalam ketentuan yang ada. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, secara tegas disebutkan larangan penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Dalam aturan itu dinyatakan bahwa perjanjian semacam itu dinyatakan batal demi hukum.
Praktik nominee atau perjokian investasi di Indonesia ditengarai banyak terjadi di sektor pertambangan (sumber daya alam) serta sektor perdagangan ritel.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Nawir Messi mengatakan praktik nominee agreement ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi di negara lain juga terjadi.
Terjadinya praktik nominee ini, lanjutnya, terjadi karena adanya pemanfaatan celah bagi seseorang yang telah di-blacklist untuk dapat masuk ke Indonesia. Transaksi nominee ini juga terjadi dalam bentuk money laundering oleh para investor asing.
"Contohnya orang Nigeria invest di Cikarang untuk kaos kaki, topi. Mereka cost US$5 dijual di sana US$4. Itu pasti money laundering," ujarnya.
Selain money laundering, praktik nominee agreement ini juga dilakukan di bawah tangan, contohnya kepemilikan properti. Investor asing menanamkan modalnya dengan membeli properti melalui warga negara Indonesia.
Nawir menyebut selama ini transaksi nominee agreement ini merugikan negara terkait dengan penerimaan negara. Kendati demikian, dia mengakui praktik nominee dalam hal-hal tertentu juga menguntungkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang tadinya tidak memiliki bisnis dengan nominee ini akhirnya bisa memiliki bisnis dengan skala pembiayaan yang cukup besar.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menyarankan agar lembaga pemerintah dapat berkoordinasi untuk memberantas praktik nominee ini.
Perlu ada komitmen kuat pemerintah yakni dengan memonitoring praktik yang diduga nominee ini merugikan negara. "Nominee agreement ini tidak terbuka dan seolah-olah di bawah tangan. Tidak terekspos sehingga perlu monitoring dan koordinasi antar lembaga sesuai dengan aturan yang ada," ucapnya.
Pemerintah diminta untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Pajak, dan kepolisian untuk mencegah praktik nominee agreement.