Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (Hipsi) menargetkan bisa mencetak sedikitnya satu juta santri dan alumni pondok pesantren menjadi pengusaha pada 2022 dengan serangkaian strategi yang membangkitkan semangat wirausaha di kalangan santri berusia 25-35 tahun.
Dalam acara Tea Room Chats yang turut didukung oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) di Perth pada Jumat (20/11/2015), Presiden Hipsi Mochammad Ghozali, 33 tahun, berbagi pengalaman membina dan menumbuhkembangkan semangat berbisnis di kalangan pondok pesantren.
Menurut dia, HIPSI berangkat sebagai jawaban terhadap fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya muslim, akan tetapi hanya ada delapan muslim di antara 40 orang terkaya di Indonesia.
Hipsi dibentuk di ujung sebuah pelatihan kewirausahawanan Mandiri Goes to Pesantren yang dilakukan pada 3 Februari 2012. Kemudian kegiatan Hipsi diisi dengan membangun 10 pusat pelatihan pesantren enterpreneur dengan tema-tema bisnis yang beragam seperti agrobisnis, kelautan, teknologi informasi dan media, kuliner, perdagangan, serta pertukangan.
"Hingga saat ini tercatat 7.000 anggota aktif di Hipsi. Mereka sudah banyak berbisnis, bahkan hingga mengekspor ke negara tetangga," kata Ghozali yang bisnis pertamanya dimulai dengan membuat waralaba warung makan dengan menu bebek di Surabaya, Jawa Timur.
Dia menjelaskan pengalaman di bisnis kulinernya itu dengan strategi ‘Bodol’ yang merupakan singkatan dari berani, optimis, duit orang lain. Bisnis waralaba itu berjalan dengan modal dari kenalannya seorang warga Malaysia dan hingga kini berjalan dengan lancar.
Namun seperti diakui Ghozali, dinamika membangun ekonomi dari santri dan komunitas pondok pesantren sangat menarik di mana dari total 27.000 pesantren di seluruh Indonesia, sebagian ada yang setuju dengan program wirausaha dan sebagian lainnya kurang sependapat.
"Saya melihat umat muslim harus mencontoh Nabi Muhammad secara kaffah. Beliau adalah pengusaha, pedagang yang sukses. Mengapa kita tidak? Dengan uang yang lebih banyak, kita sebagai muslim bisa berbuat lebih banyak untuk sekitar kita," kata alumnus Universitas Airlangga Surabaya itu.
Ghozali yang kelahiran Pasuruan itu menganalogikan memulai bisnis sama dengan proses hendak mandi. "Kita tidak mandi dengan membawa lengkap semua peralatan ke kamar mandi. Kita masuk membawa apa yang kita bisa, dan bila di kamar mandi tidak ada sabun, misalnya, yaa kita keluar dan ambil sabun."
Hambatan utama dalam memulai bisnis, masih kata dia, biasanya berupa tidak punya modal, tidak punya ide, atau tidak berjiwa bisnis.