Bisnis.com, MANILA--Komite Penyelenggara Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2015 menyatakan persoalan Laut China Selatan yang sedang memanas tidak akan dibahas karena berada di luar tema besar forum, yakni Building Inclusive Economies, Building a Better World.
Isu kemelut Laut China Selatan kembali menjadi perhatian dalam sepekan belakangan setelah China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping kedapatan membangun pulau buatan di wilayah laut yang diklaim oleh 9 negara tersebut.
"APEC adalah forum ekonomi, dan Laut China Selatan tidak masuk dalam agenda. Tapi, kami tidak bisa mengendalikan apa saja yang akan diangkat oleh para pemimpin negara-negara lain di dalam dan luar forum nanti," kata Charles Jose, Asisten Menteri Luar Negeri Filipina dan Juru Bicara Komite APEC 2015 di Manila, Jumat (13/11/2015).
Namun, katanya, seiring dengan konteks utama tema APEC yang menjejak pada promosi pembangunan ekonomi, maka stabilitas politik di kawasan juga memberi peran penting. Pasalnya, kata Jose, kemelut di Laut China Selatan seringkali membawa instabilitas.
Menurutnya, banyak negara di ASEAN yang berkepentingan dalam kasus ini. Sementara itu, Kemenlu Filipina tidak bisa memberi tanggapan mengenai proyek pulau buatan China karena belum ada dokumen resmi yang bisa diverifikasi.
Di luar forum resmi, dia menuturkan hingga kini belum ada informasi detil mengenai agenda bilateral antaranggota APEC yang menjurus pada pembahasan Laut China Selatan.
Secara terpisah, Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin memaparkan langkah China membangun pulau artifisial tersebut jelas akan meningkatkan tensi konflik.
Rosyidin menambahkan, sengketa Laut China Selatan tidak lagi hanya melibatkan negara-negara yang memiliki perbatasan langsung atau claimant states, namun juga melibatkan AS yang memiliki kepentingan vital di area tersebut, yakni menjaga jalur minyak.
Indonesia sendiri, jelasnya, saat ini tidak lagi begitu aktif dan antusias seperti era pemerintahan sebelumnya yang terus mencoba memainkan peran sebagai norms setter di kawasan.
"Komitmen RI hanya sebatas wacana, karena faktanya pemerintah tidak terlalu concern dengan prospek keamanan di kawasan," ujar Rosyidin yang juga menulis buku Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional.
Semestinya, lanjutnya, pemerintah melanjutkan peran tersebut dengan cara mengajak claimant states untuk kembali ke meja perundingan. Artinya, dia menuturkan RI bisa tampil sebagai primus interpares atau pelopor di ASEAN.
"Kalau RI tidak memberi kontribusi, wibawa dan reputasi sebagai confidence bulider dan penjaga perdamaian akan perlahan hilang," lanjutnya.