Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KRISIS ASAP: Mengurai Masalah Berkepanjangan

Indonesia menjadi sorotan dunia,terkat masalah asap akibat kebakaran hutan. Bukan pertama kalinya kasus pembakaran hutan yang dampak asapnya menyebar hingga ke negara tetangga. Mata lingkaran setan ini belum terputus dan entah sampai kapan akan terus berlanjut
Ilustrasi./Antara
Ilustrasi./Antara

Bisnis.com, JAKARTA- Indonesia menjadi sorotan dunia,terkat masalah asap akibat kebakaran hutan.

Bukan pertama kalinya kasus  pembakaran hutan yang dampak asapnya menyebar hingga ke negara tetangga. Mata lingkaran setan ini belum terputus dan entah sampai kapan akan terus berlanjut.

Namun, bisa jadi tahun ini adalah rekor terburuk dari tragedi hutan asap yang menimpa Indonesia dalam sepanjang sejarah. Lebih dari tiga bulan sudah malapetaka asap.

Korban sakit akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bertambah. Per akhir Oktober saja, Kementerian Kesehatan mencatat korban jatuh akibat ISPA menembus 425.377 jiwa.

Tak pelak, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek mengonfirmasi penderita ISPA melonjak sekitar 20% dibandingkan tahun lalu, khususnya untuk daerah Sumatra Selatan, Jambi, Riau, serta Kalimantan Selatan, Barat, dan Tengah.

Rerata kondisi udara di wilayah-wilayah tersebut sudah sangat berbahaya, dengan kadar bakteri dan indeks pencemaran melampaui 300. Jangankan untuk bernafas, membuka kelopak mata saja pastinya sangat pedih, menusuk, dan menyiksa.

Apalagi, habitat satwa liar yang terbakar saat ini tidak hanya di Sumatra dan Kalimantan, tapi merambah hingga ke Jawa Timur, Jawa Barat, dan kawasan lain di Indonesia timur.

Sampai-sampai, pakar satwa liar Institut Pertanian Bogor (IPB) Ani Mardiastuti memperingatkan rentetan krisis asap ini akan menyebabkan tewasnya banyak satwa liar akibat kekurangan oksigen dan terpanggang api. Pada akhirnya, mereka pun bisa punah.

Siklus musim kawin mereka bisa terganggu, sehingga proses reproduksi bisa terputus. Fungsi mereka sebagai penyeimbang ekosistemseperti membantu proses penyerbukanjuga bisa rusak akibat kebakaran. Dampak yang paling fatal; produktivitas tanaman pangan bisa anjlok.

Di Kalimantan Tengah, contohnya, puluhan orang utan dengan bayi-bayinya dilaporkan mengidap ISPA akibat kesulitan bertahan hidup di habitat yang terpenjara asap. Padahal, jumlah primata berambut merah itu di alam liar Borneo sudah kurang dari 1.000 ekor.

Di Kalimantan Timur, ratusan flora dan fauna langka yang hidup di hutan lindung Sungai Wain (HLSW) dikabarkan turut menjadi korban kebakaran hutan. Beberapa contoh satwa yang terdampak a.l. burung enggang, kijang, landak, kancil, dan trenggiling.

Di Riau, suaka margasatwa Pelalawan juga dilaporkan terbakar dan menghanguskan tak kurang dari 200 hektare lahan hutan lindung yang menjadi tempat bernaung berbagai satwa-satwa eksotik.

Sementara itu, di Kabupaten Bandung kebakaran hutan terjadi di kawasan Gunung Kareumbi Masigit, yang menjadi rumah bagi berbagai satwa liar yang dilindungi termasuk elang Jawa, oa Jawa, dan kera ekor panjang. Tak kurang dari 100 hektare lahan yang dilalap api.

Di Sumatra Selatan, kebakaran terjadi di tiga suaka margasatwa, yaitu Padang Sugihan, Rambang Dangku, dan Bentayan. Akibatnya, beberapa beruang madu dan macan dahan dilaporkan terpaksa keluar hutan dan mengungsi ke perumahan warga.

Kebakaran hutan juga melanda sekitar Gunung Semeru di Jawa Timur. Padahal, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menjadi tempat berlindung bagi lutung dan elang Jawa, serta merak, dan macan tutul.

Hal serupa juga terjadi di sekitar Gunung Penanggungan, Jatim. Entah sudah berapa dan akan sampai mana lagi api melalap hutan di Tanah Air yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan bernaung ribuan makhluk eksotik yang terancam punah.

CARI SOLUSI

Di tengah rentetan tragedi hutan berasap yang belum bisa dicarikan solusinya itu, jutaan pasang mata langsung tertuju dan terpicing pada sejumlah korporasi. Lebih tepatnya; perusahaan perkebunan.

Telunjuk ditudingkan ke arah perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab musibah kebakaran hutan di berbagai wilayah Tanah Air. Berbagai organisasi internasional pun langsung menyematkan noktah merah di atas rekam jejak korporasi berbasis kelapa sawit.

Misalnya saja, Big Cat Rescue yang menayangkan video kampanye di YouTube untuk menghentikan konsumsi produk berbasis kelapa sawit, yang korporasinya dianggap bertanggung jawab terhadap kematian banyak harimau Sumatra.

Greenpeace pun demikian. Dalam laman resmi Greenpeace Indonesia terpampang dengan jelas pernyataan Perusahaan Kelapa Sawit Harus Bertanggung Jawab Terhadap Kebakaran Hutan Indonesia lengkap dengan sebuah galeri foto dokumentasinya.

Menurut organisasi tersebut, terdapat 12.000 titik api selama rentang waktu 1 Agustus26 Oktober, yang mana 40% di antaranya ditengarai berada di kawasan konsensi yang diberikan pemerintah untuk perusahaan agar dapat dikembangkan menjadi perkebunan.

Lalu, sebanyak 20% kebakaran hutan disinyalir terjadi di wilayah konsensi Asia Pulp and Paper (APP), sedangkan 16% berada di wilayah konsensi perusahaan kelapa sawit yang tidak disebutkan namanya.

Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya menegaskan industri perkebunan harus menanggulangi dan mengendalikan krisis asap dan kebakaran hutan dengan menerapkan langkah-langkah penanggulangan api.

Sudah jelas bahwa kabut asap dan kebakaran hutan berakar dari puluhan tahun kerusakan hutan dan lahan gambut oleh perusahaan bubur kertas dan kelapa sawit. Bencana yang sama akan terus terjadi sampai pada saatnya perusahaan menghentikan perusakan, serunya.

Dia berpendapat transparansi perusahaan adalah kunci penting dari upaya memerangi tragedi hutan asap. Sayangnya, Teguh menilai pemerintah terlalu tertutup dalam mengungkap nama-nama perusahaan yang tengah diselidiki terkait krisis kabut asap dan kebakaran hutan.

""Masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara tidak (se)harus(nya) menanggung bencana asap kebakaran hutan seperti ini lagi. Industri bubur kertas dan kelapa sawit harus memastikan penghentian pembukaan hutan dan lahan gambut," tegasnya.

Bagaimanapun, sejumlah kalangan meminta agar pemerintah tetap waspada agar tidak terjebak dengan skenario mengambinghitamkan perusahaan perkebunan. Bahkan, ada yang menyebut krisis asap ini telah ditunggangi oleh kampanye hitam melawan industri sawit.

Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mensinyalir kepentingan untuk menyerang industri kelapa sawit adalah dampak dari semakin ketatnya kompetisi bisnis minyak nabati di dunia.

""Saya rasa (tudingan terhadap perusahaan perkebunan) adalah bagian dari kampanye hitam dan memang untuk menyerang industri berbasis kelapa sawit di Indonesia. Saya melihat ada persaingan di sini"," katanya.

Dalam sebuah artikel yang diterima Bisnis pekan ini, sekretariat Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) berpendapat kebakaran hutan dan lahan yang melanda RI saat ini merupakan tragedi kemanusiaan dan ekonomi.

Dunia usaha dan masyarakat umum sama-sama dirugikan. Namun, mereka meminta agar semua pihak dapat tetap berpikir dan bertindak rasional agar kehancuran yang lebih besar dapat terhindarkan.

Pemerintah maupun masyarakat umum jangan terperangkap pada skenario mengambinghitamkan sawit nasional yang sedang dimainkan pihak-pihak yang tidak mengehendaki Indonesia maju, papar lembaga yang berbasis di IPB itu.

Mereka menuding banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bukannya membantu memadamkan api, malah mengambil foto-foto untuk bahan laporan ke pemberi dana di luar negeri.

Jangan-jangan benar isu yang berkembang bahwa jejaring LSM antisawit ikut sebagai aktor pembakaran hutan dan lahan yang terstruktur, sistematis dan massif. Aparat keamanan diharapkan dapat meyelidiki kebenaran isu tersebut, telisik mereka.

Apapun polemik dan kepentingan di balik tragedi asap ini, penegakan hukum atas pelanggaran peraturan yang menyebabkan bencana tersebut harus tetap dilakasanakan dengan tegas. Benar bukan?

Ketimbang saling tuding dan mencari kambing hitam atas siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas krisis asap ini, kenapa tidak fokus saja kepada upaya melindungi sisa-sisa dan remah-remah kekayaan alam di negara ini?

Sudah berapa kali ikrar untuk menjalankan usaha yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dikumandangkan? Namun, sudah berapa kali pula janji itu diingkari? Kalau sudah begini, rasanya ratifikasi ini-itu seputarsustainable economyhanya menjadi sebuah ironi.

Jika tidak ada solusi untuk menghentikan tangisan alam dan jatuhnya korban sakit serta korban jiwa akibat krisis lingkungan ini, mari kita prediksikan saja dalam tiga dekade ke depan apakah Zamrud itu masih akan tetap ada di khatulistiwa ini?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper