Bisnis.com JAKARTA—Kementerian Perindustrian menyatakan pemerintah harus berhati-hati dan berhitung dengan cermat untuk bergabung dalam blok dagang Trans Pasific Partnership mengingat Vietnam memiliki kesamaan produk dengan Indonesia.
Harjanto, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, menilai Indonesia akan mendapatkan keuntungan lebih jika melakukan kerja sama bilateral dibandingkan perjanjian perdagangan bebas dengan kelompok negara.
“Misal kita melakukan hubungan bilateral dengan Amerika Serikat yang sudah tidak memberikan kita tarif khusus karena dianggap negara berkembang yang telah maju, lebih menguntungkan ketimbang kita harus head to head dengan negara lain yang memiliki kesamaan produk,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (29/10/2015).
Melalui kerja sama bilateral, lanjutnya, kesepakatan yang dicapai dapat didesain menguntungkan kedua belah pihak. Pertukaran barang tidak terlalu bebas, sehingga dapat mengisi kekosongan kebutuhan di masing-masing negara.
Kendati demikian, kesepakatan perdagangan bebas dengan negara yang lebih luas tidak dapat dihindari seiring dengan perkembangan global. Jika Indonesia tidak mengikuti perjanjian perdagangan bebas dengan suatu blok dagang, maka akan terpinggirkan.
Kesiapan Indonesia mengikuti perdagangan bebas tergantung pada konsistensi negara dalam membangun daya saing nasional. Apalagi pada 2020 sesuai dengan arahan WTO seluruh negara harus menurunkan tarif impor barang, dan saat ini tarif most favourable nationsIndonesia 70% telah 0%-5%.
“Penghitungan cost and benefit dalam mengikuti TPP harus detail. Karena kesiapan industri kita tidak sama, mungkin saat ini yang paling siap tekstil, yang lain belum. Jangan sampai blok dagang ini merugikan industri secara keseluruhan. Jika daya saing nasional telah kuat, tentu TPP menjadi peluang atas akses pasar yang lebih luas.”
Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan Indonesia harus memperkuat posisi tawar dalam negosiasi perdagangan bebas untuk mendapatkan trade balance.
Khusus untuk TPP, Indonesia diproyeksi hanya sebagai policy taker dan peluang untuk melakukan renegosiasi cukup kecil. “TPP ini high level agreement, tidak hanya bicara aspek produk industri saja. Banyak hal yang harus dibicarakan secara nasional,” tuturnya.
Rencana bergabungnya Indonesia dalam TPP menguat usai Presiden Joko Widodo mengungkapkan hal tersebut ketika melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat.
Kendati demikian, lanjutnya, sejumlah industri dalam negeri memiliki pasar ekspor yang sangat besar ke Amerika Serikat, seperti alas kaki, tekstil, crude palm oil dan plywood lainnya.
“Harus diakui jika Indonesia tidak masuk dalam TPP, daya saing semakin rendah seiring dengan masuknya Vietnam, Malaysia dan Singapura dalam perjanjian dagang itu. Jika kita masuk, juga dapat berdampak bagus, karena sama-sama mendapat tarif 0%.”
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajad mengatakan lambat laun Indonesia akan bergabung dengan TPP guna meningkatkan daya saing industri. “Memang memerlukan perundingan, memang ada yang menang dan kalah,” katanya.