Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Diminta Tegas soal IPOP, RI-Malaysia Susun CPOP

Pemerintah diminta mengambil sikap tegas terhadap manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), karena jika dibiarkan merugikan petani kelapa sawit.
Petani sedang panen tandan buah segar kelapa sawit/Jibi
Petani sedang panen tandan buah segar kelapa sawit/Jibi

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta mengambil sikap tegas terhadap manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), karena jika dibiarkan merugikan petani kelapa sawit.

"Pemerintah harus ambil langkah tegas terhadap IPOP. Jika perlu, panggil manajemen dan deklarator IPOP," ujar Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani, Senin (19/10).

Dia menjelaskan standar dan aturan yang dibuat dalam IPOP jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Dia menilai terjadi perbedaan persepsi yang mendasar terkait dengan standar atau kriteria IPOP dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Dia mencontohkan dalam IPOP dilarang menampung tandan buah segar (TBS) atau CPO dari kebun sawit hasil deforestasi ataupun dari lahan gambut.

"Ini beda persepsinya. Dalam IPOP tidak dibolehkan, tapi tidak mungkin Indonesia kembangkan sawit tanpa mengkonversi hutan, beda pandangan," tegasnya.

Selain itu, menurut Achmad, sawit dari lahan gambut diperbolehkan di aturan di Indonesia jika batas ketinggiannya 3 meter. Adapun di IPOP hal itu dilarang.

Achmad juga menggarisbawahi pernyataan Menteri Pertanian  Amran Sulaiman yang berencana menunda pemberlakuan IPOP jika terbukti mengesampingkan kepentingan petani sawit.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengungkapkan Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia telah membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOP).

Ini merupakan kelompok baru produsen minyak sawit yang dibentuk Indonesia dan Malaysia yang akan menggantikan standarisasi tentang sustainable yang diusung Uni Eropa.

Setiap tahun Indonesia mengekspor CPO ke Uni Eropa 2,5 juta ton--3 juta ton. Beberapa waktu, produk biodiesel Indonesia dihambat masuk ke Uni Eropa dengan tuduhan antidumping

Indonesia, kata Rizal, ingin  sejumlah perusahaan minyak kelapa sawit besar mundur dari komitmen bersejarah yang dibuat dalam KTT perubahan iklim tahun lalu. Hal itu dengan alasan membebani petani kecil yang tidak mampu mengadopsi praktik-praktik kehutanan yang berkelanjutan.

Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia.

Sawit, kata Rizal, salah satu pendorong utama pembangunan ekonomi, dan ribuan petani kecil menghasilkan sekitar 40% dari hasil produksi kelapa sawitnya.

"Indonesia dan Malaysia telah sepakat menyelaraskan dan menggabungkan standar-standar kami," ujar Rizal.

Menurutnya, hal ini merupakan contoh bagaimana memperjuangkan kedaulatan bangsa Indonesia. "Kita ini produsen minyak kelapa sawit terbesar. Mengapa konsumen dari negara-negara maju yang membuat standar untuk kita semau mereka," katanya.

Indonesia dan Malaysia, yang menghasilkan 85% dari hasil kelapa sawit dunia, sejak Agustus telah membahas rencana untuk membentuk organisasi antar-pemerintah yang disebut Dewan Negara-negara Produsen Kelapa Sawit.

Langkah itu muncul setelah perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar, seperti Cargill Indonesia, Golden Agri-Resources, Wilmar International, Musim Mas, dan Asian Agri menandatangani komitmen Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) menyusul tekanan untuk mengadopsi praktik yang lebih baik.

Rizal mengatakan IPOP melindungi kepentingan pasar minyak sayur negara-negara maju.

Menurutnya, CPOP akan menetapkan standar yang akan mempertimbangkan kesejahteraan petani kecil.

"Pembeli-pembeli kelapa sawit besar yaitu India dan China akan dilobi untuk menerima standar baru tersebut," ujarnya.

Selama ini, pemerintah Indonesia terus mengikuti persyaratan kegiatan ekspor CPO yang diminta negara Uni Eropa.

Menurutnya, aturan ketat CPO Uni Eropa mengakibatkan kerugian terhadap produsen CPO lokal, khususnya petani skala kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper