Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mendesak kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menyiapkan sistem berbasis IT untuk mengawasi waktu penumpukan peti kemas di kawasan lini satu pelabuhan dalam rangka implementasi Permenhub No.117/2015.
Sekretaris DPW ALFI DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan, sistem berbasis IT itu untuk mengkoneksikan sistem data di terminal peti kemas maupun Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok.
"Dengan konektivitas sistem berbasi IT secara online itu Otoritas Pelabuhan Priok bisa mengawasi langsung mana barang/peti kemas yang baru dibongkar dari kapal, mana yang sudah menumpuk lebih dari tiga hari dan peti kemas mana saja yang menumpuk kurang dari tiga hari di container yard," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (8/10/2015).
Permenhub No. 117/2015 tentang relokasi barang/peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok menegaskan setiap pemilik barang/kuasanya wajib memindahkan barang yang melewati batas waktu penumpukan selama tiga hari dari lini satu pelabuhan/ terminal dengan biaya ditanggung oleh pemilik barang.
Beleid tersebut juga sebagai upaya Kemenhub mendorong kelancaran arus barang dari dan ke pelabuhan dan menekan masa inap barang atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Menurut Adil, dengan konektivitas sistem berbasis IT antara OP,Terminal Peti Kemas (TPK) serta Bea dan Cukai Priok dapat mengoptimalkan proses pengawasan di lapangan terhdap lalu lintas barang.
"Permenhub itu juga menegaskan pengawasan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan Priok,bahwa pada hari ke empat peti kemas harus keluar dari lini satu pelabuhan,"paparnya.
Di sisi lain, kata Adil, dengan adanya beleid tersebut telah mengubah formulasi tarif penumpukan peti kemas impor di kawasan lini satu pelabuhan Tanjung Priok.
Secara otomatis formulasi itu juga berlaku bagi asosiasi pengguna jasa/pemilik barang dan manajemen pengelola terminal peti kemas seperti JICT, TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan manajemen Pelindo II.
ALFI juga yakin formulasi baru tarif penumpukan peti kemas itu juga tidak akan menggerus pendapatan Pelindo II maupun pengelola terminal peti kemas internasional di pelabuhan tersebut.
"Rencananya pada awal November 2015 tarif penumpukan hasil revisi itu diberlakukan. Kami (ALFI) dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta sudah menandatangani perubahan/penyesuaian tarif tersebut," ujarnya.
Adil mengatakan perubahan formulasi tarif penumpukan itu selain mempertimbangkan batas waktu maksimal penumpukan hanya tiga hari di lini satu pelabuhan, juga belum pernah adanya penyesuaian tarif dasar penumpukan sejak 2008.
Dalam kesepakatan perubahan tarif penumpukan di Priok itu disebutkan, tarif dasar penumpukan tetap yakni Rp.27.200/peti kemas ukuran 20 feet dan Rp.54.400/ peti kemas 40 feet.
Adapun free time hanya di kenakan pada hari pertama sedangkan untuk penumpukan hari ke dua dan seterusnya dikenakan 900% per hari dari tarif dasar penumpukan.
Pertanyakan Sikap Depalindo
Sekretaris Dewan Pelabuhan Tanjung Priok, Subandi, justru mempertanyakan penolakan Depalindo terhadap Permenhub No. 117/2015.
"Apa dasarnya Depalindo menolak beleid itu? Saya nilai tidak pada tempatnya apalagi beliau (Toto Dirgantoro, Ketua Umum Depalindo) kan saat ini selaku komisaris di Multi Terminal Indonesia (MTI)-anak usaha Pelindo II.Jika Toto mengatasnamakan Depalindo sebaiknya dia keluar dari jabatan komisaris di Pelindo dulu supaya jelas siapa yang dibela dan diperjuangkan," ujarnya.
Dewan Pelabuhan Tanjung Priok, katanya, berharap masalah dwelling time dan masalah pentarifan di pelabuhan Priok cepat selesai untuk menjamin kepastian dan ketenangan para pelaku usaha di pelabuhan.
Sebelumnya, Toto Dirgantoro menolak pemberlakuan Permenhub No.117/2015 karena beleid tersebut dinilai bertentangan dengan program Pemerintahan Joko Widodo dalam menekan ongkos logistik nasional serta perbaikan dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok.