Bisnis.com, JAKARTA— Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia mendesak pemerintah merevisi Undang-undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal karena dapat mematikan pertumbuhan industri kelas menengah dan kecil.
Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), mengatakan regulasi yang harus berlaku lima tahun setelah diundangkan tersebut sulit dipenuhi oleh usaha kecil menengah seiring dengan kemampuan finansial yang terbatas.
“Untuk perusahaan besar tidak menjadi masalah, proses sertifikasi yang membutuhkan dana dan dibebankan kepada produsen dapat dipenuhi, tetapi bagi usaha kecil menengah dengan karakter rumahan yang jumlahnya sangat banyak sulit dilakukan,” ujarnya kepadaBisnis, Selasa (6/10/2015).
Menurutnya, jika sertifikasi halal wajib diterapkan kepada semua ukuran industri tanpa terkecuali, akan berdampak pada opini masyarakat yang menganggap setiap produk yang tidak mendapatkan sertifikat halal, pasti haram.
Oleh karena itu, momentum perbaikan iklim industri nasional dengan pengeluaran sejumlah paket ekonomi dan deregulasi dari pemerintah harus ikut membahas undang-undang ini.
“Meeting terakhir dengan pemerintah, seluruh pihak sudah memahami ini. Kami harap undang-undang ini segera direvisi. Revisi undang-undang harus dilakukan sebelum kebijakan tersebut diterapkan pada 2019,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, sepanjang 2015, lembaga ini telah mengeluarkan persetujuan izin edar untuk 63.905 jenis makanan dan minuman di Indonesia. BPOM juga mengeluarkan persetujuan izin edar untuk 3.296 jenis suplemen makanan.
Sebelumnya, tuntutan revisi UU No. 33/2014 juga datang dari International Pharmaceutical Manufactures Group. Sejumlah produsen produk obat dan biologi menilai sertifikasi halal sulit diterapkan pada produk ini.
Pasalnya, industri obat dan produk biologi Indonesia 95% masih bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, pembuatan bahan baku alternatif yang dapat dipastikan tidak bersentuhan dengan hewan dengan kategori haram membutuhkan masa riset belasan tahun.
“Industri obat dan biologi sulit memenuhi undang-undang yang akan berlaku pada 2019. Logikanya, saat ini ada 16.000 produk obat yang terdaftar di BPOM, jika satu produk merupakan campuran dari 30 bahan baku, maka berapa ratus ribu bahan yang harus diuji kehalalannya,” ujar Ketua IPMG Luthfi Mardiansyah.
Dia mencontohkan, teknologi dunia dalam pembuatan sejumlah vaksin untuk anak seperti penyakit difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) masih bersinggungan dengan enzim hewan babi, walaupun pada produk hilirnya tidak ditemukan lagi unsur hewan tersebut di dalam vaksin.