Bisnis.com, JAKARTA--Para pemilik kapal ikan dan nelayan tradisional menuntut Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) membayar ganti rugi sebesar Rp.5 triliun atas kebijakannya menerapkan tiga peraturan menteri kelautan dan perikanan yang dinilai mematikan pelaku usaha dan para nelayan tradisional.
Tiga peraturan tersebut, yaitu Permen-KP No.56/2014 tentang penghentian sementara izin kapal perikanan buatan luar negeri, Permen-KP No.57/ 2014 tentang pelarangan transhipment di wilayah perairan NKRI dan Permen-KP No.2/2015 tentang alat tangkap nelayan.
Direktur Eksekuitif Kajian Kemaritiman Romi Gozali Rukmawijaya menegaskan, ganti kerugian itu harus diberikan sebagai kompensasi atas larangan operasi kapal ikan merah putih buatan luar negeri di tengah laut dan hilangnya pendapatan para nelayan yang menjadi mitranya.
Peraturan seperti itu, kata Romi, harusnya diberlakukan terhadap kapal-kapal bendera asing, bukan kepada kapal merah putih. Sekarang ini, para nelayan tidak bisa lagi melakukan transhipment di kapal ikan dan harus balik ke pelabuhan. Biaya nelayan menjadi sangat tinggi, hasil tangkapan, hanya untuk membeli solar.
"Banyak nelayan harus gulung tikar dan tidak berani melaut. Selain dilarang melakukan transhipment di tengah laut, nelayan juga menjadi sasaran para petugas KKP di tengah laut,"jelas Romi, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (20/9/2015).
Dia mengatakan, kapal ikan berbendera Indonesia yang selama ini beroperasi dibangun dari galangan kapal luar negeri, tetatpi bukan berarti kapal tersebut milik pelayaran asing sehingga dilarang beroperasi. "Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan itu sudah salah arah dan harus dicabut," ujarnya.
Sejak terbitnya peraturan tersebut, kata dia, pemilik kapal dan nelayan mengalami kerugian triliunan rupiah, dan Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengganti sekaligus mencabut tiga peraturan tersebut.
"Kapal ikan merah putih sekarang tidak beroperasi, namun kapal ikan asing bisa dengan bebas berkeliaran diperairan Indonesia, mencuri ikan. Nelayan asing yang mengambil ikan tersebut bahkan mendapatkan pengawalan militer dari angkatan perang negaranya,"paparnya.
Menanggapi halini, Pakar Hukum Kemaritiman, Chandra Motik, mengatakan, tiga Permen-KP itu salah kaprah dan harus dicabut.
Dia menyatakan, Menteri Susi yang disebut-sebut sebagai ibu asuh nelayan, dengan peraturannya itu justeru menyengsarakan para nelayan.
"Kalau membuat peraturan, harus dikaji secara mendalam, apakah peraturan itu bermanfaat bagi nelayan dan pemilik kapal ikan merah putih atau sebaliknya dan lakukan sosialisasi. Nyatanya sekarang peraturan itu malah menyuburkan kapal-kapal pencuri ikan dari negara luar, ini sangat aneh sekali,"ujarnya.
Pengajar Universitas Indonesia ini mendesak agar Menteri Susi segera mencabut beleid itu karena hanya menyengsarakan para nelayan.
"Kalau mau juga diterapkan harus ada solusi, terutama untuk kapal merah putih buatan luar negeri yang dilarang beroperasi. Siapkan kapal dari galangan dalam negeri," ujarnya.
Secara hukum, imbuhnya,kepemilikan kapal ada pada dokumen kapal, bukan darimana asal kapal itu dibangun. Kapal yang didaftar di Indonesia dengan bendera Indonesia, adalah kapal nasional dan dapat beroperasi di wiilayah hukum Indonnesia.
Chandra Motik menegaskan, tiga Kepmen-KP tersebut dinilai tidak sejalan dengan Undang-undang 17 tahun 2008 tentang pelayaran dan Inpres. 5/2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional, yang telah sukses mengusung program azas cabotage.
"Bahkan Ombudsman Republik Indonesia, telah mengeluarkan rekomendasi agar Menteri Susi menunda peraturan itu,"ujar dia.