Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI FARMASI: Target Pertumbuhan 11% Diyakini Tercapai

Setelah melewati paruh pertama 2015, kalangan industri farmasi optimistis target pertumbuhan industri sebesar 11% seiring dengan meningkatnya permintaan produk onkologi, penyakit infeksi, vitamin mineral hingga suplemen kesehatan pada 2015.

Bisnis.com, JAKARTA—Setelah melewati paruh pertama 2015, kalangan industri farmasi optimistis target pertumbuhan industri sebesar 11% seiring dengan meningkatnya permintaan produk onkologi, penyakit infeksi, vitamin mineral hingga suplemen kesehatan pada 2015.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Darodjatun Sanusi mengatakan pada kuartal I/2015 terlihat kondisi tidak memungkinkan untuk mencapai target pertumbuhan industri. Akan tetapi, melihat kinerja pasca Lebaran, pihaknya optimistis capaian target double digit dapat diraih.

Kinerja industri farmasi kuartal I/2015 hanya mampu bertumbuh 6% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu akibat menurunnya permintaan pasar.

“Tidak akan sampai 13%, tetapi paling tidak 11%. Memang raihan semester I/2015 belum terkumpul semua laporannya, tetapi anggota mengatakan kinerja positif,” tuturnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, pertumbuhan kinerja industri kimia, farmasi dan obat tradisional berada di atas kinerja industri nonmigas kuartal I/2015 maupun kuartal II//2105. Misalnya saja, pada kuartal I/2015 sektor ini berada di urutan teratas dengan 9,1%, sementara pada kuartal II/2015 pertumbuhan melambat menjadi 7,78%.

Performa pertumbuhan industri juga didukung oleh realisasi investasi sektor kimia dasar, barang kimia dan farmasi pada semester I/2015 senilai Rp22,28 triliun atau naik 62,15% dibandingkan dengan kinerja periode yang sama tahun lalu Rp13,74 triliun.

Darodjatun mengatakan bertumbuhnya kinerja secara produksi memang terjadi, tetapi secara profit sulit untuk diperkirakan. Hal ini terjadi menurutnya, karena sejak September 2014 hingga tahun ini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 21%.

“Kami beli bahan baku dengan dolar [US$] tetapi menjualnya dengan rupiah. Kalau tahun lalu disebutkan hampir menyentuh US$56 miliar, sekarang kami tidak bisa memperkirakannya,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro