Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Penyebab Harga TBS Petani di Sumut Rendah

Penurunan harga tandan buah segar (TBS) yang dialami petani kelapa sawit di Sumatra Utara terus terjadi. Dinas Perkebunan Sumut memaparkan beberapa penyebab rendahnya harga TBS tersebut.
Seorang pekerja memuat bongkahan kelapa sawit ke atas mobil truk di pinggir jalan raya Palembang-Prabumulih, Sumsel/Antara
Seorang pekerja memuat bongkahan kelapa sawit ke atas mobil truk di pinggir jalan raya Palembang-Prabumulih, Sumsel/Antara

Bisnis.com, MEDAN - Penurunan harga tandan buah segar (TBS) yang dialami petani kelapa sawit di Sumatra Utara terus terjadi. Dinas Perkebunan Sumut memaparkan beberapa penyebab rendahnya harga TBS tersebut.

Kepala Dinas Perkebunan Sumut Herawati menuturkan selama ini TBS yang dihargai murah sebagian besar merupakan hasil petani swadaya. Adapaun, petani cenderung memanen pada usia muda sehingga rendemen yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar pabrik kelapa sawit (PKS).

"Standar PKS kan 20%-22% rendemennya. Saat ini kami melihat banyak petani swadaya yang menggunakan bibit murah, ilegitim, sehingga ketika dipanen, kualitasnya tak sesuai permintaan PKS. Apalagi dipanen saat masih muda. Padahal kami sudah melakukan sosialisasi melalui Dinas Perkebunan di kabupaten/kota," ujar Herawati, Rabu (9/9/2015).

Dia menyebutkan penggunaan bibit murah dan panen pada usia mudah merupakan penyebab utama di beberapa daerah, harga TBS anjlok. Selain itu, Herawati memaparkan, kriteria penetapan harga TBS pada pedagang pengumpul (agen) bukan berdasarkan umur tanaman, tetapi tonase. 

"Selama ini TBS perkebunan rakyat dibeli pedagang pengumpul karena PKS hanya mau membeli dalam volume besar yakni minimal 5 ton. Penyebab lainnya yakni kondisi sarana dan prasaran di area perkebunan swadaya selama ini kurang memadai, sehingga biaya pengangkutan buah ke lokasi PKS menjad lebih mahal," tambahnya.

Faktor internal lainnya, sebut Herawati yakni pungutan Badan Layanan Umum yakni US$50 per ton untuk ekspor kepada pengusaha sawit dan US$30 per ton untuk produk turunan CPO serta belum berkembangnya industri hilir kelapa sawit di Indonesia.

"Saat ini dari total produksi CPO, kita mengekspor 70% dan sisanya diolah di dalam negeri. Sementara itu, permintaan dari sejumlah negara pembeli utama CPO kita seperti India dan China menurun.

Pemerintah pusat harus berkomitmen penyerapan domestik bisa terjadi. Di Sumut ada Unilever di KEK Sei Mangkei, tapi banyak terhambat listrik dan gas," jelas Herawati.

Dia berharap, ke depan pemerintah lebih serius meningkatkan penyerapan CPO di dalam negeri. Alternatif seperti peningkatan produksi Biodisel juga harus digenjot. 

Adapun, Herawati menuturkan CPO Fund yang dibentuk oleh pemerintah saat ini belum memberikan dampak signifikan terutama bagi para petani kelapa sawit di daerah.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper