Bisnis.com, JAKARTA—Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan pemerintah harus membuka akses pasar serta memberi preferensi penggunaan teknologi hasil riset dalam negeri oleh industri manufaktur ketimbang impor.
Unggul Priyanto, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan hasil riset dalam negeri sulit diproduksi secara massal dan digunakan oleh industri manufaktur akibat pasar yang tergolong kecil berimbas pada nilai keekonomian yang rendah.
“Hasil riset kami sudah banyak, tetapi barang saja tidak cukup. Dibutuhkan pasar yang mampu menyerap. Produksi mesin untuk industri, misalnya, jika konsumennya sedikit maka hasil produksi akan kalah ekonomis ketimbang mesin impor,” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (3/9/2015).
Dalam hal ini, lanjutnya, pemerintah harus melindungi serta membuat regulasi sebagai jembatan penerapan teknologi hasil riset dalam negeri pada industri manufaktur. China misalnya, secara ekstrem pernah melarang penggunaan produk asing untuk menumbuhkan industri dalam negeri.
Di sisi lain, lanjutnya, kendati saat ini pemerintah tengah menjalankan program peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), namun sistem pengadaan barang dengan lelang sering kali menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor.
Selain itu, kesadaran mengutamakan produk atau teknologi dalam negeri oleh sejumlah pihak masih minim. Akibatnya, teknologi hasil riset BPPT yang dapat diaplikasikan oleh industri manufaktur kurang dimanfaatkan.
Secara umum saat ini BPPT lebih banyak bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam melakukan riset dan menerapkan teknologi temuan. Sementara itu swasta kurang berminat menerapkan teknologi temuan, karena teknologi yang diproduksi terbatas lebih mahal ketimbang produksi massal. []