Bisnis.com, JAKARTA - Inefisiensi pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP) berpotensi mencapai Rp160 triliun terkait dengan tidak adanya sistem pengawasan terhadap dugaan korupsi tersebut.
Hal itu disampaikan Fendy Dharma Saputra, Direktur Penanganan Masalah Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam kegiatan sosialisasi Whistleblowing System (WBS) dalam pengadaan barang dan jasa di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (2/9/2015).
Dia menuturkan sistem itu bertujuan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan kasus korupsi. "Asumsi APBN sebesar 2.039 triliun, sekitar Rp800 triliun dibelanjakan melalui pengadaan barang dan jasa, inefesiensi sebesar 20% mencapai Rp160 triliun," kata Fendy.
Dia menuturkan lembaga macam Bank Dunia menyatakan inefisiensi PBJP mencapai 10%-50%. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai 20%-50%.
Nilai Rp160 triliun, katanya, setara dengan 32 unit jembatan Suramadu per tahunnya, dengan nilai masing-masing sekitar Rp5 triliun. Selain itu, potensi itu juga setara dengan pembangunan 3.200 unit bandara perintis pertahunnya.
Oleh karena itu, WBS akan mendorong pengungkapan tentang penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Selain itu, kata Fendy, juga meningkatkan sistem pengawasan yang memberikan perlindungan kepada si pembocor informasi dugaan korupsi tersebut.
LKPP menyatakan sistem pembocor informasi itu juga akan memfasilitasi pengguna anggaran untuk mendeteksi dini adanya pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu, kata Fendy, sistem itu akan memberikan fasilitas bagi pelaksana pengadaan untuk mengadukan penyimpangan tanpa pengungkapan identitas.
LKPP mencatat sedikitnya 57 instansi kementerian dan lembaga sudah menggunakan WBS, di antaranya adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan dan Sekretariat Negara.
Selain itu, terdapat tujuh pemerintah daerah yang telah menerapkan WBS. Mereka adalah Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Sanggau dan Bengkulu Utara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri menangani kasus dugaan korupsi pada pengadaan barang dan jasa. Pada 2012 (11 kasus), 2013 (9 kasus) dan 2014 (15 kasus).
"Manfaatnya adalah upaya untuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah," kata Fendy.
UANG PELICIN
Dadang Trisasongko, Sekretraris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), sebelumnya mengatakan pemberian uang pelicin diduga masih kerap ditemukan di lingkungan pebisnis dan pemerintahan. Hal itu dilakukan untuk mempercepat proses penyediaan barang dan jasa, maupun memperoleh fasilitas di luar ketentuan umum.
"Pemberian uang pelicin diyakini dapat mencipatkan iklim usaha yang tidak kondusif," kata Dadang.
Dia memaparkan peningkatan efisiensi pengelolaan logistik, pengadaan barang dan jasa merupakan rangkaian prioritas kebijakan pemerintahan saat ini. Efisiensi pengelolaan di sektor pengadaan barang dan jasa, demikian Dadang, akan terwujud jika pelaksanaannya bebas dari praktik korupsi.
Pada April, Indonesia Corruption Watch (ICW), LKPP dan Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) menandatangani Nota Kesepahaman terkait dengan sistem pemantauan pengadaan barang dan jasa. Pemantauan itu dilakukan di tingkat kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.