Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Riset Farmasi Butuh Dukungan Regulasi

Lemahnya riset dan teknologi farmasi nasional semestinya bisa dikompensasi dengan mengikuti uji klinis global. Untuk itu, pelaku usaha menilai pemerintah mesti membuat regulasi yang mendukung.
Ilustrasi. /Antara
Ilustrasi. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Lemahnya riset dan teknologi farmasi nasional semestinya bisa dikompensasi dengan mengikuti uji klinis global. Untuk itu, pelaku usaha menilai pemerintah mesti membuat regulasi yang mendukung.

Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak menjelaskan saat ini Indonesia masih tertinggal dibanding Malaysia, Singapura dan Thailand dalam keterlibatan uji klinis global akibat ada beberapa regulasi yang menghambat.

“Kami masih berusaha keras agar periset maupun peraturannya bisa menunjang sehingga kita bisa ikut serta dalam perkembangan produk-produk baru,” ujarnya pada Bisnis.com, Senin (31/8/2015).

Salah satu aturan yang dinilai menjadi penghambat ialah peraturan yang diterbitkan Kementerian Kesehatan mengenai material transfer agreement yang melarang sampel darah yang diambil di Indonesia tidak boleh dikirim ke luar negeri. Padahal salah satu syarat perbandingan dalam riset tersebut ialah sampel harus diperiksa di laboratorium yang sama.

Menurut Parulian, hal semacam ini bisa menghambat pelaku industri Tanah Air dalam mengembangkan produk farmasi termutakhir, khususnya produk berbasis bioteknologi yang akan semakin dicari ke depannya.

Dia menjelaskan bahwa untuk melakukan riset secara mandiri di dalam negeri, pelaku industri masih kesulitan. “Ristek ini bukan sesuatu yang mudah, selain mahal ya. Jadi kami berusaha agar pemerintah mau meninjau kembali aturan-aturan yang menghambat,” katanya.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan dari tiga basis produk farmasi yaitu bahan alam atau herbal, kimia dan bioteknologi, Indonesia bisa dikatakan belum punya apa-apa untuk pengembangan produk bioteknologi.

Hampir seluruh produk bioteknologi di Indonesia merupakan produk impor. Dia mengatakan produsen yang mengembangkan produk berbasis biologi tersebut adalah Bio Farma yang masih berfokus untuk vaksin, Kalbe Farma yang mengembangkan stem cell atau sel punca dan Sanbe yang mengembangkan obat anti kanker.

“Padahal produknya [bioteknologi] banyak sekali seperti untuk obat kanker, vaksin, produk darah lainnya, biosimilar,” katanya.

Dia mengatakan saat ini sudah mulai ada investor yang masuk untuk mengembangkan produksi obat berbasis bioteknologi tersebut. “Mereka dari China dan Korea, kerja sama dengan pihak lokal. Masih tahap awal, tapi mereka sudah ada yang investasi,” imbuhnya.

Menurut Darodjatun, Singapura merupakan negara Asean yang paling kuat dalam ristek farmasi dan kualitas produk biologis, baik itu berupa vaksin maupun produk biosimilar. Dia menjelaskan investor terpancing ke sana karena teknologi yang mereka punya.

“Bahan baku mereka tidak ada, tapi mereka punya teknologi. Itu artinya, teknologi yang baru ini [bioteknologi], tidak selalu bergantung pada bahan baku maupun bahan penunjangnya. Bisa dikatakan mereka potong kompas dari teknologi yang ada,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Shahnaz Yusuf
Editor : Shahnaz Yusuf
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper