Bisnis.com, JAKARTA—Pengusaha di industri dengan pertumbuhan negatif pada kuartal II/2015 menilai merosotnya kinerja tahun ini bukan hanya akibat pasar global yang lesu, namun juga karena tidak kondusifnya iklim usaha di dalam negeri.
Menurut data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perindustrian, kinerja sektor industri tekstil dan pakaian jadi pada periode ini -6,31% dibandingkan 2014.
Ernovian G. Ismi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengatakan selain faktor eksternal yakni penurunan permintaan dari Amerika Serikat dan China, faktor internal seperti penurunan daya beli, peningkatan ongkos logistik, kenaikan tarif listrik dan gas lebih menghancurkan.
“Di dalam negeri lebih berantakan kondisinya. Akibat penaikan harga bahan bakar minyak, daya beli masyarakat naik, ongkos logistik juga naik, ujung-ujungnya upah pekerja akan semakin tinggi,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (19/8/2015).
Penurunan kinerja ini telah terlihat sejak pertumbuhan yang hanya mencapai 3% - 6% pada 2012 dan tahun berikutnya. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya secara konsisten industri tekstil mampu tumbuh 8%-11% per tahun.
Saat ini, lanjutnya, seiring dengan harga komoditas kapas, bahan baku industri tekstil, yang diperkirakan terus meroket akibat pasokan yang terus menurun, pemerintah harus segera memperbaiki sistem logistik nasional untuk industri pertekstilan.
Sejak awal tahun sampai dengan 26 Juni, pasokan kapas di Intercontinental Exchange menyusut 50%. Kendati pada perdagangan (19/8) harga kapas masih sekitar US$0,66 per pon, United State Departement Agriculture memproyeksikan produksi kapas AS turun 9,8% pada tahun ini.
“Harga kapas yang kita impor dari 60 negara tidak dapat kita atur, yang dapat kita kontrol adalah logistik. Saat ini buffer stock kapas di Cikarang Dry Port belum berfungsi karena dasar hukum yang diminta sudah satu tahun belum dikeluarkan oleh pemerintah,” tuturnya.