Bisnis.com, JAKARTA -Federasi Pengemasan Indonesiamengatakan realisasi belanja pemerintah pada semester II/2015 belum berdampak pada peningkatan permintaan produk kemasan.
Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia, mengatakan menghadapai empat bulan tersisa pada tahun ini produsen dalam negeri justru semakin terbebani dengan depresiasi rupiah.
Impor bahan baku kita tahun ini tinggi yakni 50%, tahun lalu sekitar 48%. Nilai omzet industri pengemasan pada tahun lalu mencapai Rp70 triliun dengan pertumbuhan 6%, Tahun ini kami perkirakan pertumbuhan tidak mencapai target 8%, ujarnya kepada Bisnis, Selasa (18/8/2015).
Menurutnya, dengan tertekannya pertumbuhan industri makanan dan minuman yang hanya 8% berpengaruh signifikan pada industri pengemasan. Pasalnya, konsumen terbesar industri pengemasan adalah industri mamin yang bergantung pada daya beli masyarakat.
Di lain hal, lanjutnya, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dikhawatirkan semakin dalam menjelang akhir tahun. Karena, berdasarkan siklus tahunan, menjelang tahun baru nilai tukar rupiah semakin lemah seiring dengan permintaan dolar yang meningkat.
Oleh karena itu, industri pengemasan berharap pemerintah melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dapat melakukan penelitian sesuai dengan kebutuhan industri dalam negeri. Hal ini penting dilakukan untuk meniptakan substitusi impor.
Selama ini pemerintah jalan sendiri-sendiri. Hasil riset tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Impor bahan baku ditambah dengan ongkos logistik yang mencapai 30% dari struktur biaya produksi sangat membebani pengusaha, katanya.
Dia mencontohkan, pengiriman barang dari Pulau Jawa ke pulau lain lebih mahal ketimbang ke Malaysia dan Singapura. Ongkos logistik Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand yang hanya 12%-16% dari struktur biaya produksi.