Bisnis.com, JAKARTA—Suplai perkantoran di kawasan pusat bisnis (central business district/ CBD) Jakarta pada semester II/2015 mencatatkan kuantitas terbesar sepanjang sejarah. Pertambahan pasokan ini meningkatkan tantangan sektor perkantoran ke depannya, di tengah situasi ekonomi yang belum stabil.
Berdasarkan hasil riset lembaga konsultan properti Cushman & Wakefield Indonesia, sekitar 608.000 m2 ruang perkantoran akan masuk ke CBD pada semester II/2015. Bila jumlah ini tercapai, maka akan menjadi pasokan terbesar yang pernah tercatat di pasar perkantoran pusat bisnis Jakarta.
Adapun pada kuartal II/2015, aktivitas transaksi dan permintaan sewa ruang perkantoran di area CBD cenderung melambat.
Permintaan ruang ukuran kecil antara 100 m2 dan 300 m2 banyak terjadi, akibat sebagian besar perusahaan mencari unit dengan harga sewa yang lebih murah dibandingkan dengan yang mereka huni sebelumnya.
Walaupun begitu, pada periode tersebut terjadi penyerapan positif sebesar 11.500 m2, yang berdampak pada kenaikan tingkat hunian menjadi 92,1% atau meningkat 0,24% dari kuartal I/2015.
“Perkantoran Grade A memberikan sumbangan sebesar 15.200 m2 pada kuartal II/2015. Namun, perkantoran Grade B mengalami penyerapan negatif sebesar 3.900 m2,” papar riset seperti dikutip Bisnis.com, Rabu (22/7/2015).
Angka persentase pada semester I/2015 masih lebih rendah sekitar 2% dibandingkan okupansi keseluruhan 2014 yang mencapai 94,5%.
Harga sewa rata-rata perkantoran Grade A turun sebesar 1,3% tahun ke tahun (year-on-year/YoY) selama triwulan pertama menjadi US$26,12 per meter persegi per bulan.
Namun, harga sewa dalam rupiah naik menjadi Rp347.800 per meter persegi per bulan atau naik 0,8% per kuartal, akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Secara keseluruhan, Cushman memproyeksikan pasar perkantoran CBD akan mengalami penurunan pada semester II/2015 yang disebabkan adanya ruang kosong dalam jumlah besar seiring meningkatnya pasokan baru dalam periode tersebut.
Transaksi untuk unit besar pun diprediksi akan semakin terbatas, karena mayoritas penyewa lebih memilih bersikap wait and see terhadap kondisi perekonomian global dan nasional.
Head of Research and Advisory Cushman & Wakefield Indonesia Arief Rahardjo menyampaikan secara historis, pertumbuhan ekonomi yang digambarkan dalam Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) GDP sangat berpengaruh terhadap tingkat permintaan di sektor perkantoran.
“GDP memengaruhi pertumbuhan permintaan kantor, jadi ini memang satu-satunya sektor yang sangat menunjukan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang baik maupun buruk di suatu periode,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Sejak perekonomian nasional membaik pasca krisis moneter, sektor perkantoran terus menanjak hingga terjadi sedikit penurunan pada awal tahun 2008 hingga pertengahan 2009. Tingkat okupansi yang menurun turut menekan harga sewa menjadi semakin melandai.
Periode pertengahan 2009 sampai dengan 2014 okupansi semakin membaik, sehingga harga sewa naik secara signifikan. Melihat peluang tersebut, sambung Arief, developer pun marak membangun gedung perkantoran, sehingga suplai ke depan sampai 2018 akan berlimpah. Namun, fenomena ini tentunya akan mengoreksi angka okupansi.
“Pada 2015 sampai 2018 terjadi arus future suplai yang sangat banyak, sehingga setiap tahunnya diperkirakan 600.000 m2 – 800.000 m2 ruang perkantoran akan masuk. Hal ini yang akan mengoreksi tingkat hunian yang akan terjadi di tiga tahun mendatang,” terangnya.
Sampai semester II/2015, okupansi ruang perkantoran bisa mencapai 92%. Namun, hingga akhir tahun tingkat hunian akan terus menurun menjadi 83%.
Tantangan Kebijakan
Selain suplai yang berlimpah, tantangan berikutnya yang dihadapi sektor perkantoran ialah kebijakan Bank Indonesia. Seperti diberitakan sebelumnya, pada pertengahan tahun ini BI mengeluarkan kebijakan baru no.17/3/PBI/2015 mengenai kewajiban semua transaksi yang diharuskan menggunakan mata uang rupiah, termasuk dalam pemasaran kantor.
Menurut Arief mayoritas pemilik gedung masih dalam proses mengadopsi peraturan ini. Beberapa perkantoran sudah mengkonversi harga sewa mereka dari dollar ke rupiah, baik untuk perpanjangan maupun kontrak baru.
“Ada developer yang menyiasati dengan tetap memberikan tarif dalam bentuk dolar AS, namun transaksi dalam bentuk rupiah,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pakuwon Jati Tbk. Stefanus Ridwan berpendapat pada 2015 hingga 2018 sektor perkantoran mengalami sejumlah tantangan utama, yakni banyaknya suplai dan ekonomi nasional yang menurun sehingga mengurangi kebutuhan ruang kantor.
Kenaikan kurs US$ terhadap rupiah juga turut menyebabkan melambungnya harga bahan bangunan dan peralatan.
Selanjutnya, Undang-Undang Rumah Susun (Rusun) yang menghilangkan Rusun non hunian menimbulkan banyak masalah. Hal ini berkaitan dengan Surat Edaran dari Kementerian PUPR yang meminta BPN tidak memproses sertifikat sarusun untuk perkantoran dan pusat perbelanjaan yang berdiri sendiri
“Saya melihat kalau perkantoran agak takut, karena tahun-tahun mendatang akan begitu banyak suplai [perkantoran] sudah jadi. Sementara situasi ekonomi masih tidak jelas mau maju atau enggak. Sedangkan kalau resesi terjadi, otomatis kantor kosong,” tandasnya saat dihubungi Bisnis.com belum lama ini.