Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Petani Sulut Keluhkan Lesunya Harga Pala

Para petani dan eksportir mengeluhkan harga biji pala yang jatuh lebih dari 50% di tengah permintaan yang lesu dari pasar internasional.
Aktivitas bongkar muat peti kemas ekspor di Tanjung Perak, Surabaya/Bisnis.com
Aktivitas bongkar muat peti kemas ekspor di Tanjung Perak, Surabaya/Bisnis.com
Bisnis.com, SITARO--Para petani dan eksportir mengeluhkan harga biji pala yang jatuh lebih dari 50% di tengah permintaan yang lesu dari pasar internasional.
 
‎Sherlly Dendeng dari PT Gunung Intan Permata, salah satu eksportir biji pala terbesar di Sulawesi Utara, mengatakan rerata harga jual saat ini hanya mencapai Rp55.000-Rp60.000 per kilogram.
 
Padahal, sebelumnya harga biji pala mencapai ‎Rp80.000-Rp100.000 per kg.Sementara itu, pada tingkat petani harga pala hanya mencapai Rp50.000 per kilogram.
 
"Tahun ini situasinya sulit," kata Sherlly di sela-sela dialog dengan petani di Kampung Lai, Kabupaten Sitaro, Kamis (25/6/2015). Kampung Lai adalah salah satu produsen utama pala di Pulau Siau sedangkan pala Siau dikenal sebagai pala terbaik di dunia.
 
Dia menambahkan dari sisi permintaan pun pasar biji pala sedang lesu. Hal ini tercermin dari persentase permintaan yang anjlok lebih dari 50%, utamanya dari sejumlah negara tujuan ekspor utama di Uni Eropa (UE) seperti Italia, Belanda, dan Jerman.
 
Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan jika dilihat dari segi volume dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ekspor pala tercatat turun sekitar 5,86%. Namun, dari sisi harga nilai ekspor justru naik 5,39%.
 
Selama ini Indonesia memang tercatat sebagai produsen dan eksportir utama biji pala dengan persentase di pasar global mencapai 75%. ‎Sedangkan 37% importasi pala UE datang dari Indonesia dengan nilai US$32 juta dolar per tahun.
 
Kepala Bagian Ekonomi dan Perdagangan U‎E Harvey Rouse menilai tren penurunan harga itu bisa jadi dipicu oleh dua hal. Pertama, kembalinya Granada sebagai salah satu eksportir biji pala.
 
"Ekspor pala Granada sempat berkurang drastis karena bencana alam dan merusak pohon pala. Sekarang mereka sudah kembali," katanya.
 
Alhasil, sambung Rouse, hadirnya pala Granada menggerus volume permintaan biji pala dari Indonesia. Faktor kedua adalah perlambatan perekonomian global yang turut mengurangi daya konsumsi.
 
Namun, menurutnya jika deselerasi pertumbuhan yang memicu turunnya permintaan hal itu justru menjadi sinyal positif bagi tren ekspor pala Indonesia ke depan.
 
"Jika ada hubungan‎ antara pertumbuhan Eropa dengan ekspor maka trennya akan naik, karena tren pertumbuhan Eropa juga membaik," ungkap Rouse.
 
Sementara itu Kepala Kerja Sama Delegasi UE Franck Viault ‎mengatakan petani seharusnya menjual produk palanya secara berkelompok. "Sehingga mereka punya posisi tawar yang kuat," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper