Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Uang Muka KPR Turun, Pengembang Bilang Dampak ke Penjualan Kecil

Rencana pelonggaran loan to value (LTV) sebesar 10% pada kredit pemilikan rumah (KPR) oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dinilai tidak akan serta-merta menaikan gairah pasar properti.n
Perumahan/Ilustrasi-Bisnis
Perumahan/Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA—Rencana pelonggaran loan to value (LTV) sebesar 10% pada kredit pemilikan rumah (KPR) oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dinilai tidak akan serta-merta menaikan gairah pasar properti.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo mengatakan dengan melonggarnya LTV menjadi sebesar 80% setelah sebelumnya 70%, membuat kebijakan uang muka menjadi 20% setelah sebelumnya sebesar 30% untuk rumah pertama. Walaupun terlihat menarik, perubahan kebijakan LTV hanya berdampak menaikkan daya beli masyarakat sebesar 5%.

“Kebijakan tersebut bagus sekali, sehingga menurunkan nilai kewajiban uang muka. Namun, hanya berdampak sekitar 5%,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (23/6/2015).

Idealnya, lanjut Eddy, kebijakan LTV untuk rumah pertama ialah adalah 90%, sehingga pembeli hanya dibebankan uang muka sebesar 10%. Bila diberlakukan, situasi ini bisa mendongkrak penjualan sampai 30%.

Segmen yang paling menikmati adanya pelonggaran LTV ialah kelas menengah yang menyasar hunian dengan harga Rp200 juta – Rp1 miliar per unit. Sedangkan segmen atas mayoritas merupakan investor, sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan instrumen tersebut.

Terpisah, Manajer Pemasaran Green Pramuka City Joko Sumariyanto berpendapat pelonggaran LTV sebesar 10% yang menyebabkan uang muka untuk pembelian rumah pertama menjadi 20%, rumah kedua 30%, rumah ketiga 40% dan selanjutnya tidak akan berdampak signifikan. Pasalnya, daya beli masyarakat akibat situasi makro ekonomi nasional terasa sangat menurun.

“BI tidak tepat melakukan langkah itu sekarang, karena kondisi makro nasional sedang menurun, dari aspek daya beli masyarakat sangat menurun. Menurut saya turun 10% tidak terlalu membantu meningkatkan daya beli masyarakat. Momennya kurang pas,” tuturnya pada Bisnis.com setelah acara penutupan atap Tower 5 Green Pramuka City, Selasa (23/6/2015).

Menurut Joko, daya beli yang menurun kurang berhubungan dengan adanya pengetatan LTV, karena kebijakan itu hanyalah satu faktor kecil. Pasalnya, secara makro kondisi ekonomi tanah air sedang terpukul. Akibatnya, kemampuan perusahaan memberikan kenaikan pendapatan tidak sesuai dengan laju inflasi yang meningkat.

“Sebenarnya secara riil, bila melihat kenaikan harga barang-barang, pendapatan pegawai lebih turun dari tahun lalu. Jadi bagaimana mau beli? Apalagi harga properti terus menanjak,” pungkasnya.

Situasi berbeda terjadi pada periode 2013-2014, dimana kondisi makro domestik tidak separah sekarang. Unsur LTV pun menjadi salah satu menjadi faktor penentu bagi sektor properti. Sejak pemberlakuaannya pada Oktober 2013, sambung Joko, penjualan apartemen Green Pramuka City anjlok 50%.

Green Pramuka City yang terletak di Jakarta Pusat memiliki luas lahan 12,9 hektar. Dalam 5 tahun ke depan, perusahaan berencana mengembangkan 17 tower hunian vertikal, dimana setiap tower memiliki kapasitas 750-1000 unit.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper