Bisnis.com, JAKARTA --Efisiensi produksi menjadi salah satu faktor utama dalam masalah tingginya harga gula yang terjadi saat ini.
Oleh sebab itu, Kementerian BUMN masih mengkaji pemetaan terhadap pabrik gula BUMN yang masih mungkin melanjutkan produksinya dan mana saja pabrik gula yang harus berhenti produksi.
“Ini sudah dibicarakan dengan PTPN dan sudah mulai jalan,” kata Staf Khusus Menteri BUMN Sudar S.A.
Sudar menyebutkan saat ini sudah banyak pabrik yang berdiri tetapi kekurangan lahan produksi bahan baku.
Sehingga menyebabkan bahan baku dari pabrik tersebut harus didatangkan dari impor luar negeri.
Jika kondisi tersebut dibiarkan terus-menerus maka akan mematikan petani tebu lokal dan juga mematikan pabrik itu sendiri, sementara ketergantungan impor menjadi semakin tinggi.
Saat ini, lanjut Sudar, importasi raw sugar mau tidak mau masih belum bisa dihindari.
Kendati demikian, satu hal yang masih harus dijaga adalah, impor bahan baku tersebut harus dilakukan di luar musim giling, sehingga petani tidak terpengaruh harga impor yang selisihnya sangat jauh.
Wakil Ketua Dewan Gula Indonesia (DGI) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rudyan Kopot menilai pembatasan masa impor sulit dilakukan karena kebutuhan industri baik itu makanan minuman skala besar maupun skala industri kecil dan menengah (IKM) terhadap gula rafinasi terjadi sepanjang tahun.
Di sisi lain, kendati petani memiliki stok yang cukup banyak setelah masa giling, hasil produksi gula dari mereka tidak bisa masuk ke industri makanan dan minuman karena spesifikasi gula tersebut, yaitu gula kristal putih, tidak memenuhi standardisasi yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman.