Bisnis.com, JAKARTA – Industri sarung tangan karet diperkirakan turun sekitar 5% hingga 10% pada kuartal pertama 2015.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia Achmad Safiun mengatakan kini produksi sarung tangan karet nasional hanya berkisar 4 miliar pasang. Angka ini jatuh cukup dalam dibandingkan dengan 2014 yang berkisar 5,5 miliar pasang, dan 2013 yang mencapai 6 miliar pasang.
“Masalah dari dulu ya gas dan listrik. Gas ada, kalau harga mahal, ya sama saja enggak ada. Kalau modelnya seperti ini terus, sulit lah mau bertumbuh,” ujarnya pada Bisnis.com, Minggu (31/5/2015).
Dia mengatakan pelaku industri produk hilir karet ini terus merosot dari belasan perusahaan pada sekitar 1990-an, menjadi lima perusahaan. Itu pun salah satunya sudah beralih pada karet saintifik.
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Abdul Aziz Pane mengatakan permasalahan gas sudah dimulai pada 1995 ketika suplai gas terganggu. Padahal pada masa itu, Indonesia menduduki peringkat kedua impor sarung tangan karet setelah Malaysia.
Selain gas, menurut Aziz, yang menyulitkan industri tersebut sulit berkembang adalah ketersediaan lateks sebagai bahan baku. Selama ini Indonesia masih mengimpor lateks dari Vietnam.
Aziz meminta kepada pemerintah agar benar-benar menyiapkan strategi untuk menyelamatkan industri hilir karet. “Kalau memang serius mau hilirisasi karet, jangan hit and run,” ujarnya.
Dia mengatakan baiknya industri dibangun di tempat yang dekat dengan sumber bahan baku, dekat dengan pasar, serta memiliki sumber gas. Di samping itu, tentunya pengembangan industri di luar Jawa juga harus disegerakan agar ada dekonsentrasi industri. []